Minggu, 29 Juli 2012

Ini adalah Doa dari Imam Syafi'i atau Ruqiyah untuk segala macam penderita sakit, bisa di baca sendiri kapanpun, setelah habis sholat, pagi sore atau minta di bacakan orang lain untuk dirinya.

بسم الله الرحمن الرحيم وبالله ولاحول ولاقوة إلا بالله العلي العظيم أسكن أيهالوجع سكنتك بالذي يمسك السماء أن تقع على الأرض إلا بإذنه إن الله بالناس لرؤوف الرحيم

(Bismillahir Rohmanir Rohim wa Billah wa la Haula wa La Quwwata illa billahil ‘aliyyil \adhim, Uskun Ayyuhal Waja’u Sakantuka Yumsikus Sama-a an Taqo’a ‘alal Ardli illa biIdznihi Innallaha Binnasi la Roufur Rahim)

“Dg Nama Allah Al Rahman dan Al Rahim dan Dengan Allah dan tiada daya dan upaya kecuali dg Izin Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung, Tenanglah wahai rasa sakit, aku menenangkanmu dg Dzat yg menahana Langit agar tidak jatuh ke Bumi kecuali atas IzinNya, sesungguhnya Allah Maha Sayang dan berbelas kasihan terhadap Manusia”

بسم الله الرحمن الرحيم وبالله ولاحول ولاقوة إلا با لله العلي العظيم أسكن أيها الوجع سكنتك بالذي يمسك السموات والأرض أن تزولا ولئن زالتا إن أمسكهما من أحد من بعده إنه كان حليما غفورا

(Bismillahi al Rohmani al Rohim wa Billah wa La Haula wa la Quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adhim, Uskun Ayyuhal Waja’u Sakantuka billadzi Yumsikus Samawati wal Ardlo an Tazuulaa wa lain Zaalataa in amsakahuma min Akhadin min ba’dihi Innahu Kana Khaliman Ghofuro)

“Dg menyebut Nama Allah Yg Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan atas Nama Allah, dan tiada daya dan upaya melainkan atas Izin Allah Yg Maha Luhur dan Maha Agung, Tenanglah wahai Penyakit, Aku menenangkanmu dg Dzat Yg Menahan beberapa Langit dan Bumi agar tidak runtuh, dan andaikan keduanya runtuh, tidak satupun orang orang yg dapat menahannya, sesungguhnya Allah Maha Murah hati dan Maha Pengampun”

قال الإمام الشافعي رضي الله عنهم فمااحثجث معه إلى طبيب قط ب‘ذن الله تعالى فإنه هو الشافي

Imam Al Syafi'i (Semoga Allah meridloinya) mengatakan: setelah akau mengamalkan doa ini, aku tidak lagi butuh Dokter, atas Izin Allah, Dialah Sang Penyembuh.
Posted by Uswah On 12:31 AM 1 comment READ FULL POST
Dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلا مَرَضٍ ، لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ ﴿رواه البخاري﴾

Barangsiapa tidak berpuasa sehari dari bulan Ramadan, tanpa ada halangan dan bukan karena sakit, maka tidak bisa diganti (pahalanya) dengan qadla’ puasa setahun, meski dia melakukannya (HR. Bukhari)

***********

Beberapa saat lagi, Ramadan tiba. Bulan penuh berkah yang dinantikan kaum muslimin sedunia itu sudah semestinya kita sambut dengan kegembiraan dan semarak ibadah. Dan yang juga penting adalah membekali diri dengan pengetahuan fiqhiyyah tentang ibadah terkait dengan bulan agung tersebut. Ada hal-hal yang musti kita periksa sebelum Ramadan kita jalani. Diantaranya adalah memastikan bahwa kita tidak memiliki tanggungan kewajiban qadla’ puasa dari Ramadan tahun lalu.

Sebagaimana ibadah-ibadah lain yang memiliki ketentuan batas waktu, seperti halnya shalat, puasa pun demikian. Jika seseorang pernah tidak berpuasa, dengan atau tanpa halangan, maka selekasnya lah melunasi qadla’ puasa tersebut. Jika tidak berpuasa karena halangan (udzur), seperti sakit, bepergian, lupa tidak niat di malam harinya, atau datang bulan bagi wanita, maka hukum menyegarakan qadla’ adalah sunnah, agar segera terlepas dari beban tanggungan. Dan, jika puasa diabaikan tanpa udzur yang dibenarkan, misalkan makan dengan sengaja tanpa udzur di siang hari Ramadan, maka wajib hukumnya untuk segera men-qadla’nya.

Qadla’ puasa Ramadan bisa dilakukan kapanpun, selama belum datang Ramadan berikutnya, dan bukan merupakan hari-hari yang terlarang berpuasa, seperti dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, dan hari-hari tasyriq, yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan, bagi wanita, tentu saja disyaratkan suci dari haid dan nifas. Jika qadla’ puasa dilakukan di dua hari raya dan hari-hari tasyriq, maka puasanya tidak sah.

Kemudian, kesunnahannya, qadla’ puasa Ramadan hendaklah dilakukan secara berturut-berturut, sejumlah hari yang menjadi tanggungan kewajibannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلَا يَقْطَعْهُ ﴿ رواه الدارقطني والبيهقي﴾

Barangsiapa yang punya tanggungan qadla’ puasa Ramadan, maka hendaklah dilakukannya secara berturut-turut dan jangan memutusnya (HR. Daraquthni dan Baihaqi)

Hal ini juga bertujuan untuk menyegerakan pemenuhan kefardluan, selain juga agar lebih mirip dengan bentuk ibadah yang di-qadla’-nya, yakni bahwa puasa Ramadan yang dilakukan pada waktunya, dilakukan secara berturut-turut.

Jika seseorang memiliki tanggungan qadla’ puasa, dan sepanjang tahun selepas Ramadan dia dalam keadaan udzur, semisal terus menerus dalam kondisi sakit, atau terus menerus bepergian, hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada dosa baginya dalam menunda penunaian qadla’ puasa, meski sampai bertahun-tahun. Dia hanya berkewajiaban melakukan qadla’ puasa sejumlah hari yang menjadi tanggungannya.

Tetapi jika selepas Ramadan ada kesempatan untuk melunasi qadla’ puasa, semisal keadaan dirinya sehat atau tidak terus menerus bepergian jauh, akan tetapi tanggungan qadla’ puasa tidak segera ditunaikan, hingga datang bulan Ramadan berikutnya, maka selain tetap berkewajiban melakukan qadla’ puasa selepas Ramadan kedua, dia juga diwajibkan membayar fidyah, dengan memberi makan fakir miskin dengan makanan sejumlah 1 (satu) mud untuk tiap hari tanggungan puasa yang belum di-qadla’-nya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثُمَّ يَقْضِي مَا عَلَيْهِ ثُمَّ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ﴿ رواه الدارقطني والبيهقي ﴾

Barangsiapa menemui bulan Ramadan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sembuh dan belum meng-qadla’nya hingga ditemuinya Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia melakukan puasa untuk bulan Ramadan yang ditemuinya, kemudian meng-qadla’ puasa yang wajib dilakukannya dan memberi makan seorang miskin untuk tiap harinya. (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi)

Jika selepas Ramadan kedua, tanggungan qadla’ puasa pada Ramadan pertama tidak juga segera ditunaikan, padahal tidak ada udzur syar’i pada dirinya, hingga datang Ramadan tahun ketiga, maka selepas Ramadan ketiga, selain tetap diharuskan meng-qadla’ puasa, dia diharuskan membayar fidyah lagi untuk tiap harinya, karena keterlambatan qadla’ hingga Ramadan ketiga. Demikian seterusnya, kewajiban fidyah berulang dengan berulangnya keterlambatan tiap tahunnya.

Kewajiban pembayaran fidyah akibat penundaan pelaksanaan qadla’ ini efektif berlaku sejak masuknya Ramadan kedua, meski kewajiban melakukan qadla’ baru bisa dilakukan selepas Ramadan. Bentuk fidyah dalam hal ini adalah memberi makanan kepada fakir miskin sejumlah 1 mud (mud adalah ukuran volume, setara dengan 679,79 gram beras putih) untuk tiap harinya. Bahan makanan yang diberikan sebagai fidyah, ketentuannya sama dengan pembayaran zakat fitrah, yakni bahan makanan pokok daerah setempat.

Kewajiban pembayaran fidyah juga diterapkan dalam permasalahan-permasalahan berikut :

Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadla’ puasa, disebabkan tidak segera meng-qadla’nya, padahal ada kesempatan. Atau orang yang memiliki tanggungan qadla’ karena tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa adanya udzur, dan meninggal sebelum meng-qadla’nya. Orang yang meninggal dalam keadaan semacam ini, tanggungan puasanya diganti dengan membayar fidyah 1 mud untuk tiap harinya, atau qadla’ puasa yang dilakukan oleh kerabat atau orang yang mendapat izin dari yang meninggal atau kerabatnya.
Orang yang tidak mampu melakukan puasa, karena terlampau tua, kondisi fisik lemah, atau penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Mereka boleh tidak berpuasa, dan diharuskan menggantinya dengan pembayaran fidyah, jika puasa menjadikannya payah di luar batas kewajaran, atau setara dengan kepayahan yang memperbolehkan tayammum, yakni yang dapat menyebabkan kematian, hilangnya fungsi anggota tubuh, memperlambat kesembuhan, atau menambah sakit yang telah dialami.
Wanita hamil atau menyusui yang khawatir atas keselamatan janinnya atau berkurang air susunya, diperbolehkan tidak berpuasa, dan menggantinya dengan fidyah 1 mud tiap harinya, selain juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain. Ini berbeda dengan wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena semata-mata khawatir atas keselamatan dirinya, tanpa ada kekhawatiran akan keselamatan janin dan berkurangnya air susu, maka yang wajib baginya hanya meng-qadla’ puasa yang ditinggalkannya.
Orang yang membatalkan puasa demi menyelamatkan nyawa atau fungsi anggota badan orang lain, atau hewan hampir mati yang hanya bisa diselamatkan dengan cara membatalkan puasa, seperti tindak penyelamatan korban yang tenggelam.

Referensi

Zakariyyâ bin Muhammad bin Zakariyyâ al-Anshârî, Asnâ al-Mathâlib Syarh Raudl al-Thâlib, Beirut : Darul Kutub al-Islamiy, tt.
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2002.
Syihâbuddîn al-Qulyûbi, Hâsyiyah alâ Syarh Minhâj al-Thâlibin li al-Mahallî, Beirut : Darul Fikr, 1995.
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Al-Taqrirât al-Sadîdah fî Masâil al-Mufîdah, Surabaya : Darul Ulum al Islamiyah, 2004
Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami, Al-Zawajir ‘an Iqtirâf al-Kabâir, Beirut: Darul Fikr, tt.
Posted by Uswah On 12:26 AM 2 comments READ FULL POST
Mandi wajib atau janabah, atau junub adalah mandi yang dilakukan ketika kita mengalami mimpi basah atau habis bersenggama. Nah, pada saat seperti inilah kita diwajibkan untuk mandi wajib/janabah/mandi besar. Namun tidak seperti mandi biasa,mandi besar ini harus diperhatikan niyat dan tata caranya, berikut niyat mandi wajib atau mandi besar dan tata caranya:

Niyat mandi besar atau mandi jinabat itu seperti niyat niyat dalam ibadah yang lain, yaitu di dalam hati, adapun kalimat niyatnya adalah:
1. NAWAITUL GHUSLA LIRAF'IL HADATSIL AKBAR MINAL JANABATI FARDLON LILLAHI TA'ALA

2. NAWAITUL GHUSLA LIRAF'IL HADATSIL AKBAR MINAL HAIDI FARDLON LILLAHI TA'ALA

3. NAWAITU GHUSLA LIRAF'IL HADATSIL AKBAR MINAN NIFASI FARDLON LILLAHI TA'ALA

Jika mandi besar disebabkan junub (Mimpi basah, keluar mani, senggama) maka niyat mandi besarnya adalah:

“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari jinabah, fardlu karena Allah Ta’ala”

Jika mandi besarnya disebabkan karena haidl maka niyat mandi besarnya adalah:

“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari haidl, fardlu karena Allah Ta’ala”

Jika mandi besarnya sebab nifas, maka niyat mandi besarnya adalah:

“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari nifas, fardlu karena Allah Ta’ala”

Adapun tata caranya sebagai berikut:

1. Mandi junub/besar harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.

2. Dalam mandi junub/jinabat/besar, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang paling tersembunyi sekalipun.

3. Mandi junub/jinabat/besar dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.

4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.

5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dicuci dengan air.

6. Setelah itu berwudlu ‘sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.

7. Kemudian mengguyurkan air di mulai dari pundak kanan terus ke kepala dan seluruh tubuh dan menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.

8. Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.

9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.

10. Disunnahkan untuk melaksanakan mandi besar/junub/jinabat itu dengan tertib seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah bersabda:

Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadanya demikian dan demikian dari api neraka “. HR. Abu Dawud
Posted by Uswah On 12:25 AM 99 comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube