Minggu, 21 Oktober 2012

Wanita boleh saja bekerja, berkarir, dengan catatan memenuhi tiga hal. Tidak keluar dari adab-adab, moral dan ajaran Islam, bekerja sesuai dengan gendernya sebagai wanita, dan tidak melupakan kewajiban aslinya sebagai ibu dalam sebuah rumah tangga.

Namun hal ini bisa menjadi tidak terpenuhi saat seorang wanita memutuskan bekerja (atau memang atas dorongan suaminya, atau hal lain semisal kebutuhan mendesak mencari nafkah) ke luar negeri. Menjadi tenaga kerja wanita.

Maka artinya adalah tentu saja dia meninggalkan rumahnya, dan meninggalkan kewajiban mendidik anaknya (jika telah mempunyai anak dan dia tinggal).
Dilema sekali memang permasalahan bekerja menjadi seorang TKW ke luar negeri, terjadi banyak pro kontra, bahkan merambah pada ranah hukum fiqih, bagaimana hukum menjadi TKW?

Tentu saja terjadi perbedaan pendapat di sana, sebab hal ini berhubung langsung dengan bepergian wanita seorang diri yang dalam syariat kita diatur sedemikian rupa.

Syariat menyatakan (terutama dalam ibadah haji, yang kemudian dikembangkan menjadi kepada bepergian wanita secara umum ke mana saja) bahwa wanita tidak bisa mengadakan perjalanan jauh seorang diri kecuali jika ditemani oleh mahramnya/suaminya, atau bepergian dengan rombongan wanita banyak yang bisa dipercaya, dalam hal ini termasuk agen perjalanan yang bisa menjamin keamanan wanita tersebut.

(Dalam sistem pesantren pada umumnya, hal ini dipraktekkan dengan prosedur kepulangan dan kedatangan santri putri, bahwa santri putri tidak diperkenankan pulang kecuali jika dijemput keluarganya, atau pulang bersama-sama teman sesama ceweknya. Pesantren tidak membolehkan santri putrinya mengadakan perjalanan jauh atau keluar area pesantren seorang diri)

Maka, selain dua pesyaratan ini, wanita tidak diperkenankan melakukan perjalanan jauh sendirian. Memang ada yang membantah, bukankah sekarang semuanya sudah aman? Ada petugas keamanan di setiap tempat, ada peralatan telekomunikasi yang canggih, jadi tak ada lagi alasan melarang wanita bepergian.

Oke, bisa jadi argumen itu sangat logis, akan tetapi peraturan syariah tetaplah sebuah peraturan, andai alasan pelarangannya itu terhapuskan, maka ketundukan terhadap syariah sebagai ibadah dan bentuk ketakwaan masih tetap dan tidak terangkat.

Alhasil terjadi argumen hebat antara yang membolehkan bekerja di luar negeri dan yang tidak memperbolehkan. Apalagi kejadian di beberapa negara yang kerap kali memakan korban TKW, mulai dari tidak diberikan hak-haknya, diperlakukan secara tidak manusiawi, dilecehkan, diperkosa bahkan sampai dibunuh setelah dirampok dan dikuras habis hasil kerja kerasnya untuk kemudian dibuang jenazahnya di samping kotak sampah, yang makin memperkuat argumen kubu yang mengharamkan wanita bekerja ke luar negeri.

Lepas dari semua itu, jika keadaan darurat, semisal tidak ada yang menafkahinya, maka tentu saja menjadi hal lain, sebab kaidah menyatakan bahwa hal-hal darurat bisa membolehkan sesuatu yang asalnya dilarang, dengan berbagai catatan.

Namun bagaimanapun, keluar dari pembahasan melalui sudut pandang fiqih atau sudut pandang sosial soal ketidakterjaminan keamanan bekerja di negeri orang, fenomena wanita bekerja jauh ke luar negeri harus diakui tetap banyak menimbulkan masalah, terutama dalam sistem rumah tangga, meski suami menyetujui sekalipun.

Sebab suami -dan aku sangat yakin sekali- tidak akan bisa sepenuhnya menggantikan tugas istri (yang memang oleh Allah telah diciptakan dengan fungsi masing-masing). Hal inilah yang menyebabkan timpangnya biduk rumah tangga. Rasa kasih sayang seorang ayah pada anak, dalam tatacara pengungkapannya, perhatiannya, tentu saja berbeda sekali dengan seorang ibu. Walau sang ayah masaknya sekelas koki hotel bintang lima sekalipun.

Atau andai si anak dititipkan pada neneknya, bibinya, atau siapapun tetap berbeda, sebab hal ini berhubungan langsung dengan ikatan emosional anak pada ibu sejak masih dalam kandungan.

Maka, melihat segala jenis efek negatif jangka panjang dan ketidakjelasan masa depan dari sudut manapun, alangkah baiknya jika seorang wanita itu bekerja tidak jauh dari rumahnya. Sehingga memungkinkannya untuk tetap memantau secara langsung terhadap anak-anaknya dengan mata kepala sendiri.

Kesimpulannya, jika memang terdesak tak ada pilihan kerja lain kecuali menjadi TKW, maka harus mempertimbangkan segalanya dengan matang, dan yang terpenting ada jaminan keamanan (sesuatu yang kerap kali jebol dilanggar). Sebab keselamatan jiwa, kehormatan, adalah prioritas utama dari syariah. Hilangnya unsur ini, bisa mengharamkan profesi tersebut secara individual. Yang akhirnya membuat pekerjaannya sekaligus penghasilannya tidak berkah.

Maka jika tak ada pilihan lain kecuali menjadi TKW, sebaiknya sekalian pergi dengan suaminya atau keluarganya (syukur-syukur anaknya dibawa juga), atau berada dalam agen yang mempunyai jaminan keamanan yang bisa dipertanggungjawabkan (semisal agen formal yang biasa mengirim perawat dan tenaga medis ke luar negeri).

Akhir catatan, kita harus arif mensikapi hidup yang makin hari ternyata semakin membingungkan, jika kita tidak punya bekal keimanan yang benar-benar kuat. Mengutip kata-kata abadi seorang puteri asal Andalusia, Spanyol (abad 5 Hijriyah), permaisuri dari Khalifah Hisyam Abdurrahman al-Umawi, Aurora Subh Al-Bisykansiah, bahwa hidup seluruhnya adalah berbahaya, al-hayat kulluha khathar, mesti berhati-hati dalam melangkah. Wallahu a'lam
Posted by Uswah On 10:58 AM No comments

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube