Rabu, 02 Maret 2011

Cara istikharah dengan menggunakan Al Qur’an
Ijasah dari Abuya Achmad Masduqi Machfudz
dari KH. Oesman Mansyur Malang

Sholat istikharah 2 rakaat, dengan niat: Usholli sholatal istikharah sunnatan lillahi ta’ala.
Bacaan surat pada rakaat pertama setelah Fatihah Surat Zalzalah
Bacaan surat pada rakaat kedua setelah Fatihah Surat Al Qori’ah

Setelah salam, hadiah fatihah kepada:
1. Nabi Muhammad Rasulullah saw.
2. Suthonul ‘auliya’ Syeh Abdul Qodir Al Jilani ra.
3. Seluruh arwah kaum Muslimin dan Muslimat
Kemudian membaca:
1. Ayat Kursi 3 kali
2. Surat Al Ikhlas 3 kali
3. Surat Al Falaq 3 kali
4. Surat An Nas 3 kali
5. Membaca shalawat kepada Rasulullah saw sekali. Seterusnya berdoa meminta petunjuk kepada Allah tentang masalah yang ingin dimintakan petunjuk kepada Allah setelah berdoa membuka Al Qur’an dari arah kanan, dan sebagai petunjuk adalah ayat pertama yang ada dilembar mush-haf sebelah kanan atas.

Maka bila ayat ditunjukkan adalah ayat yang menerangkan kebaikan maka itu sebagai petunjuk baik, dan sebaliknya.
Posted by Uswah On 1:21 PM 1 comment READ FULL POST
Kali ini kami mencoba menuliskan kembali bimbingan shalat sunnat istikharah, bagi saudara – saudara kita sesama muslim yang sedang gundah dan dalam kebingungan akan suatu pilihan. Karena inilah yang ALLAH ajarkan kepada kita cara untuk meminta petunjuk-Nya diantara kegundahan hati….disamping itu kami sangat anjurkan bila shalat istikharah ini telah dilakukan dan belum juga memperoleh petunjuk dari Allah lebih giatlah lagi untuk terus melakukannya….perbanyaklah amal, minta maaflah pada Allah dalam hal ini bertobat (dengan melakukan shalat Taubat) .karena boleh jadi Allah belum juga memberikan petunjuknya karena ada dosa yang menjadi beban..dan untuk supaya jiwa ini lebih khusyu dalam memohon petunjuknya…..

Satu hal lagi yang ingin kami sampaikan untuk kita semua agar tetap berlapang dada penuh ke-ikhlasan tetaplah berprasangka baik pada ALLAH …seperti Allah sudah janjikan dalam surat Al-Insyirah:

”Dan sesungguhnya Diantara kesusahan ada kemudahan ..sesudah kesusahan ada kemudahan..” Sungguh ALLAH Maha Mengetahui atas segalanya…."

Percayakanlah seluruh hasil hanya pada ALLAH kita sebagai hambaNya hanya menjalani apa yang sudah ditentukan, ALLAH pasti punya rahasia dibalik ini semua…suatu rencana terbaik yang ALLAH telah siapkan kepada kita sebagai hambaNya yang selalu meminta dan berserah diri padaNya.. ..

Semoga bimbingan shalat ini dapat bermanfaat bagi semua, dan tidak lupa kami mengharapkan setiap ridha-Nya…
Rabbana Hablana Min Azwaajina Wadzurriyatina Qurrata Ayyun Waj Alna Lil Muttaqina Imama (QS:25;74)

A. Pengertian Shalat Istikharah
Shalat Istikharah adalah shalat sunnat yang dikerjakan untuk memohon petunjuk kepada Allah dalam menentukan pilihan yang paling baik diantara dua perkara atau lebih guna menghilangkan keragu-raguan / kegundahan dalam hati agar tidak kecewa di kemudian hari.

Misalnya ; untuk memilih salah satu diantara dua pekerjaan yang sangat bagus dan sama-sama kita dapat atau mampu mengerjakannya yang mana yang harus kita ambil, atau untuk memilih salah satu di antara dua gadis atau pemuda yang sama-sama baik dan kita cintai, yang mana kita masih ragu untuk menentukannya yang mana yang paling baik untuk menjadi pendamping hidup kita, dan lain sebagainya.

Hukum Shalat Istikharah adalah sunnat Mu’akkad, yaitu : sunnat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan, di kala kita sangat membutuhkan petunjuk atau hidayah dari Allah SWT untuk menentukan pilihan yang paling baik dan paling besar maslahahnya, baik dalam masalah pekerjaan maupun urusan-urusan lainnya.
Sebagaimana yang diterangkan di dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Tidak akan kecewa orang yang mau (mengerjakan shalat) Istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang suka bermusyawarah serta tidak akan melarat orang yang suka berhemat (sederhana)”. (HR.Imam Thabrani)

B. Manfaat Shalat Istikharah
Di samping untuk lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah SWT sebagai rasa taqarrub kepada-Nya, shalat sunnat Istikharah juga bermanfaat untuk membebaskan diri rasa keragu-raguan dan kebingungan dalam menentukan sebuah pilihan yang paling baik dan paling bagus, baik menurut pandangan hukum maupun agama, agar tidak kecewa atau menyesal di kemudian hari.

C. Bilangan Rakaat dan Tata Cara Shalat Istikharah
Shalat sunnat Istikharah dikerjakan dengan dua rakaat, Adapun waktu mengerjakannya tidak ditentukan, sehingga dapat dikerjakan kapan saja, baik siang maupun malam. Namun yang lebih utama dikerjakan pada malam hari sebagaimana shalat Tahajjud, yaitu pada sepertiga malam yang terakhir.

Adapun cara mengerjakannya adalah sama sebagaimana shalat-shalat sunnat yang lainnya, hanya saja niatnya yang berbeda. Dan lafazh niat shalat sunnat Istikharah itu adalah sebagaimana berikut :

“Ushalli sunnatal istikhaarati rak’ataini lillaahi ta’aalaa”. Allahu Akbar.

Artinya : Saya berniat shalat sunnat Istikharah dua rakaat karena Allah Ta’ala.
ALLAHU AKBAR.

Setelah selesai mengerjakan shalat sunnat Istikharah hendaknya memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, dengan memperbanyak membaca istighfar, shalawat atas Nabi Muhammad SAW, tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, agar secepat mungkin mendapat petunjuk dan hidayah dari ALLAH SWT tentang apa yang sedang kita hadapi, baru kemudian kita tutup dengan membaca do’a sebagai berikut :

“ Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin. Wash shalaatu wassallamu ‘ala asrafil mur saliina sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aalihii wa shahbihii ajma’iin. Allahumma innii astakhiruuka bi’ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhiimi fa-innaka taqdiru walaa aqdiru wa ta’lamu wa-laa a’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuubi. Allahumma in-kunta ta’lamu anna haadzal amra ( kata haadzal amra diganti dengan perkara yang sedang kita hadapi. Misalnya ketika memilih jodoh, kata haadzal amra diganti dengan nama orang yang kita maksud, misalnya Ahmad atau..(bagi yang perempuan) atau Fathimah atau…(bagi yang laki-laki). Jadi bacannya menjadi..In kunta Ta’lamu Anna Ahmad atau….atau In kunta Anna HaaDzan Nikah bila pilihan hanya satu orang untuk menentukan sikap jadi menikah atau tidak) Khairun lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amrii faqdirhu lii wa yassir hu lii tsumma baarik lii fiihi wa in kunta ta’lamu anna haadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amri fashrifhu ‘annu fashrifnii ‘anhu waqdirliyal khaira haitsu kaana tsumma ardhinii bihi”.

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap terlimpahkan atas semulia-mulianya utusan, (yaitu) junjungan kami Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabat beliau semuanya. Wahai Tuhanku, Aku memohon pilihan kepada-Mu mana yang baik menurut pengetahuan-Mu, Aku mohon kepada-Mu dari anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan aku tidak memiliki kekuasaan, dan Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui serta Engkau adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala perkara yang ghaib. Wahai Tuhanku, apabila Engkau ketahui bahwa perkara ini (sebutkan perkara yang dimaksud) baik bagiku, dalam agamaku, untuk penghidupanku, dan baik akibatnya, maka tetapkanlah perkara itu untukku, kemudian berilah berkah kebaikan untukku. Dan apabila Engkau ketahui bahwa sesungguhnya perkara ini jelek bagiku, dalam agamaku, untuk penghidupanku dan jelek akibatnya, maka jauhkahnlah aku daripadanya dan tetapkanlah yang baik untukku dimana saja berada, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya”.
Posted by Uswah On 1:19 PM No comments READ FULL POST
Birrul Walidain terdiri dari kata birru dan walidain. Birru atau al-birru berarti kebajikan dan al-walidain artinya kedua orang tua atau ibu bapak. Birrul walidain berarti berbuat baik kepada kedua orang tua.

Kedudukan Birrul walidain:
Birrul walidain memiliki kedudukan yang istimewa dalam Islam. Dalil yang membuktikan hal tsb. al:

1. Allah mewasiatkan kepada kita, manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana misalnya firman Allah dalam surah Al Ahqaaf: 25 yang artinya, "Kami wasiatkan kepada ummat manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua...."

2. Perintah berbuat baik kepada kedua orang tua diletakkan Allah SWT di dalam Al Qur'an setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah: 83 yang artinya "Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu, "Janganlah kamu menyembah selain Allah, berbuat baiklah kepada ibu bapakmu,....""

3. Perintah berterima kasih kepada kedua orang tua diletakkan Allah SWT setelah perintah berterima kasih kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya di dalam surah Luqman: 14 yang artinya, "Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin lemah, dan menyusukannya selama dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu."

4. Rasulullah SAW meletakkan birrul walidain ini sebagai amalan nomor dua terbaik setelah shalat tepat waktu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Diriwayatkan dari 'Abdullah ibnu Mas'ud ra, dia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi SAW, "Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau SAW menjawab, "Birrul walidain." Kemudian aku bertanya lagi, "Seterusnya apa?" Beliau menjawab, "Jihad fi sabililah.""" (HR. Muttafaqun 'alaihi)

5. Perintah berbakti kepada kedua orang tua didahulukan atas jihad dan hijrah. Dalilnya, selain hadits yang telah disebutkan sebelumnya, "Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk berjihad, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Dia menjawab, "Ya, masih.” Beliau pun bersabda, “Maka pada keduanya, hendaklah engkau berbakti."” [HR. Muttafaqun 'alaihi]

Sejalan dengan hadits tadi di hadits lain Rasulullah SAWpun bersabda, "Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra, dia berkata, “Ada seorang laki-laki menghampiri Nabi SAW seraya berucap, "Aku berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad dengan mengharapkan pahala dari Allah." Beliau bertanya, "Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?" Dia menjawab, "Ya, masih, bahkan kedua-duanya." Maka beliau bersabda. “Berarti engkau menginginkan pahala dari Allah?” Dia menjawab, "Ya.“ Beliau bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu pergaulilah mereka dengan baik.””" [HR. Muslim]

Kita juga masih mengingat kisah Juraij yang hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dimana dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Juraij sedang sholat Sunnah dan ibunya memanggilnya. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama ibunya memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih memilih untuk meneruskan shalatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Akhir cerita Juraij difitnah oleh seorang pelacur yang mengaku bahwa dia melahirkan anak dan anak tersebut adalah anak Juraij. Lalu orang beramai-ramai datang kepada Juraij. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya".

6. Rasulullah SAW meletakkan, durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa besar nomor dua setelah syirik, sebagaimana sabda beliau SAW. "Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa'i al Harits ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?" Beliau mengulangi lagi pertanyaan tsb tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah SAW menyebutkan, "Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak." Kemudian beliau merubah posisi duduknya dan berkata lagi, "Begitu juga perkataan dan sumpah palsu." Beliau mengulangi lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak menambahnya lagi." (HR. Muttafaqun 'alaihi)

7. Rasulullah SAW mengaitkan keridhaan Allah dan kemarahan Allah SWT dengan keridhaan dan kemarahan orang tua, sebagaimana sabda beliau SAW, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Allah ada pada kemarahan orang tua." (HR. Tirmidzi)

Inilah ketujuh dalil yang membuktikan keistimewaan birrul walidain di dalam Islam. Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka melupakan kewajiban ini. Dan ini mengingat kita kisah sahabat Al Qamah yang mengalami kesulitan ketika menjelang sakratul mautnya yang disebabkan ibunya tidak ridha, karena sang ibu merasa bahwa sang anak lebih memperhatikan sang isteri daripada dirinya. Dan Alhamdulillah diakhirnya sang ibu berkenan memaafkan anaknya, hingga akhirnya anaknya bisa menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mengucapkan kalimat tauhid.

Lalu apa bentuk-bentuk birrul walidain atau dengan kata lain bagaimana cara kita mewujudkan birrul walidain ini?

Ada banyak cara agar kita sebagai anak dapat mewujudkan birrul walidain ini, al;

1. Meminta izin ketika kita akan melakukan sesuatu dan mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh, dan masalah-masalah lainnya. Tentu saja keinginan kedua orang tua tsb. harus sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surat Luqman ayat 15, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik."

Dan sabda Rasulullah SAW bahwa, "Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaatan hanya semata dalam hal yang ma'ruf." (HR. Muslim)

Dalam hal ini, akan bisa memunculkan masalah, dan masalah terjadi bila ada perbedaan antara saran orang tua dengan keinginan kita sebagai anak, misalnya saja dalam masalah memilih jodoh. Masalah ini merupakan salah satu masalah dari banyak masalah yang sering terjadi. Solusi yang sering diambil anak dalam masalah ini adalah menikah tanpa memberitahukan kedua orang tuanya atau kita sering dengar istilah kawin lari. Dan dari kawin lari ini kemudian akan menimbulkan masalah baru, dan masalah yang paling sering terjadi adalah adanya jarak antara anak dan orang tua, adanya jarak antara menantu dan mertua, atau orang tua merasa diabaikan oleh anaknya karena anaknya lebih mengutamakan isterinya. Dalam kasus-kasus seperti ini, akhlaq sang anak diuji. Maukah dia menomorduakan keinginannya demi untuk melaksanakan birrul walidain? Namun demikian, perlu dicatat, bahwa orang tua yang bijak, tidak akan begitu saja memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Disinilah diperlukan dialog dan keterbukaan.

2. Menghormati dan memuliakan kedua orang tua

3. Bergaul dengan baik dan berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sebagaimana firman Allah dalam surat Al Israa' ayat 23. "Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."

4. Tawadhu’ (rendah hati) dan tidak boleh sombong apabila pendidikan sang anak lebih tinggi dari pada orang tuanya atau apabila sang sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena keberadaan kita di dunia melalui mereka berdua dan sewaktu kita lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, lalu orang tua kita memberi kita makan, minum, dan pakaian.

5. Membantu orang tua secara fisik dan finansial. Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita bahwa betapapun banyaknya kita mengeluarkan uang atau membantu kedua orang tua, maka itu tidak sebanding dengan jasa mereka kepada kita.

6. Mendo'akan ibu bapak agar diberikan ampunan, rahmat, dan lain sebagainya, sebagaimana firman Allah dalam surat Nuh ayat 28 yang artinya, "Ya Rabbku, ampunilah aku, ibu bapakku, ...."

7. Setelah orang tua meninggal, birrul walidain masih dapat diteruskan dengan cara:

a. menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya
b. melunasi hutang-hutannya
c. melaksanakan wasiatnya
d. meneruskan silaturrahmi yang dibinanya
e. memuliakan sahabat-sahabatnya dan
f. mendo'akannya

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, "Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, adakah sesuatu yang masih dapat saya kerjakan untuk ibu bapak saya sesudah keduanya meninggal dunia?" Rasulullah SAW menjawab, "Ada, yaitu, mensholatkan jenazahnya, meminta ampunan baginya, menunaikan janjinya, meneruskan silaturahminya dan memuliakan sahabatnya."" (HR. Abu Daud)

Keutamaan birrul walidain, al:

1. Birrul walidain merupakan amal yang paling utama, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Diriwayatkan dari 'Abdullah ibnu Mas'ud ra, dia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi SAW, "Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau SAW menjawab, "Birrul walidain." Kemudian aku bertanya lagi, "Seterusnya apa?" Beliau menjawab, "Jihad fi sabililah.""" (HR. Muttafaqun 'alaihi)

2. Ridha Allah bergantung Kkepada ridha orang tua, sebagaimana sabda beliau SAW, "Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemarahan orang tua." (HR. Tirmidzi)

3. Berbakti kepada orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami. Kita masih ingat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar ra mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.

4. Diluaskan rizki dan dipanjangkan umur, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang “Artinya "Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahimnya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

5. Dimasukkan ke dalam surga oleh Allah SWT
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju surga, sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak dapat masuk ke dalam surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah SWT segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah SWT dan akan dimasukkan ke dalam surgaNya.

Tentang masalah shalat birrul walidain riwayat yg tsiqah untuk hal itu memang sepertinya tidak ada, namun bisa dikiaskan pada shalat hajat untuk meminta kemuliaan, keberkahan dan anugerah bagi ayah bunda, maka hal itu masyru' (diakui keshahihan riwayatnya dan dibahas jelas dalam syariah).
Posted by Uswah On 1:15 PM No comments READ FULL POST
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan Kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yanq bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua ibu bapakmu, hanya kepadaKu lah kembalimu” (Q.S. Luqman: 14)

Diriwayatkan Abu Abdurrahman Abdullah ibnu Mas’ud RA:

Aku bertanya kepada Nabi SAW, “Apa amalan yang paling disukai oleh Allah SWT?”

Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”

Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Birrul walidain.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Seterusnya apa?”

Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”

Birrul walidain terdiri dari kata al birrul artinya kebajikan dan al walidain artinya dua orang tua atau ayah bunda. Maka, birrul walidain maknanya berbuat kebajikan kepada kedua orangtua atau berbuat ihsan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surah Al Ahqaf ayat 15, “Kami wajibkan kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan (ihsan) kepada dua orang ayah bundanya”.

Sahabat Abu Umamah RA mengisahkan, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai peranan kedua orang tua dan dijawab, “Mereka (kedua orang tua) adalah yang menyebabkan surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah).

Ketika Muawiyah ibnu Jahimah mendatangi Rasulullah SAW untuk memohon, agar ia dapat ikut berjihad bersama beliau ke medan juang. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah ibunya masih hidup?”

Muawiyah rnenjawab bahwa ibunya masih hidup. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Kembalilah ke rumah dan layani ibumu, karena sorga berada di bawah telapak kakinya” (HR. lbnu Majah dan Nasa’i)

Di antara perintah Allah mengenai birrul walidain terdapat dalam surah Al Isra’ ayat 23 –24. Bila diperhatikan firman Allah dalam ayat ini dapat diambil beberapa hal pokok. Pertama, hak dan kedudukan orang tua (ayah bunda) di dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, langsung berada di bawah hak-hak Allah SWT. Al Qur’an berulang kali memerintahkan berperilaku menyenangkan, patuh, dan berbakti kepada ayah bunda.

Selanjutnya, apabila kedua ayah bunda sudah berusia lanjut, sikap dan perasaan mereka cepat berubah, seperti menjadi mudah tersinggung, suka marah dan cepat bersedih hati, karena ketuaan usia mereka. Maka kepada anak-anak mereka diperintahkan, agar melihat perubahan perilaku ayah bunda itu sebagai suatu yang lumrah dan mesti diterima dengan selalu menampakkan rasa kasih sayang yang tulus.

Birrul walidain menempati kedudukan istemewa dalam ajaran Islam. Perintah ihsan kepada ayah bunda ditempatkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an sesudah perintah beribadah kepada Allah dan sesudah larangan menyekutukan-Nya. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan esuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak wabil waalidaini ihsanan… (Q.S. An Nisa’: 36)

Allah telah menetapkan perintah berterima kasih kepada ayah bunda sesudah perintah bersyukur kepada Allah SWT. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Q.S. Luqman:14)

Kemudian, Baginda Rasulullah SAW mengaitkan keridhaan Allah SWT bertalian dengan keridhaan ayah bunda, sesuai sabda beliau, “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orangtua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua” (HR. At Tirmidzi). Demikian pula, Rasulullah SAW meletakkan ‘uququl walidain (durhaka kepada dua orang ibu bapak) sebagai dosa besar sesudah al isyraaku billah (syirik).

Maka di dalam mengamalkan ibadah-ibadah di dalam bulan Ramadhan khususnya, dan juga pada setiap saat, janganlah dilalaikan untuk berdoa bagi keselamatan dan kesejahteraan kedua ayah bunda, agar Allah SWT menurunkan rahmatnya untuk kita semua.

Khusus untuk akhwah Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah memiliki ciri tersendiri untuk menunjukkan sikap berbakti kepada orangtua. Pada fase maghfiroh di bulan Ramadhan ini, mereka dituntut melaknakan SHALAT BIRRUL WALIDAIN sebanyak dua rakaat ba’da shalat maghrib. Rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan Al Qadr. Sedangkan rakaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas.[]

Keterangan didalam kitab "KHOZINATUL ASROR" HALAMAN 40 disebutkan sbb :
ASH SHOLAWAATIL NWAAFILI 'INDAL ASBAABI 'AARIDLOH

BUKU TERSEBUT KARANGAN SAYYID MUHAMMAD HAQQIN NAAZILI DITERANGKAN CARA SHOLAT BIRRUL WALIDAINI :

- pada tiap-tiap malam kamis
- Waktunya antara Magrib sampai isya
- Dua rokaat setelah membaca surat fatihah membaca :
1, ayat kursi lima kali
2. surat al- falaq, qul 'auudzu birobbil falaq
3. Surat al - nass, qul auudu birobbn nassi
- Setelah salam membaca istigfar lima belas kali
- Kemudian membaca Sholawat nabi lima belas kali
- Kemudian pahala dipersembahkan untuk ibu-bapak yg telah meninggkan dunia.,

Qolaa Rosulullah saw :

MAN SHOLALAHAA FAQOD ADAA HUQUQQ WAALIDAINI ALAIHI WA ATAMMA BIRROHUMAA
( AN ABI HURAIROH- KHOZINATUL ASROR HALAMAN 40 )

BERSABDA rOSULULLAH SAW :
"Barang siapa yang mengerjakan sholat birrul waalidaini maka ia telah sunguh-sunguh telah menunaikan hak terhadap orang tua nya yang telah diwajibkan atasnya dan telah menyempurnakan birrul waalidaini.
itulah DASAR HUKUM MELAKSANAKAN SHOLAT BIRRUL WAALIDAINI

Hadits tersebut ada yang mengatakan dhoif, akan tetapi apa kata para ulama' Ahli Sunnah wal Jamaah?

Kalau ada hadis tentang satu amalan, meskipun hadisnya taraf dhaif, bisa saja di lakoni untuk diambil fadhilahnya amal.

Shalat birrul walidain itu tidak wajib, jadi siapa mau melaksanakan silahkan, siapa nggak mau ya udah... jgn di bikin ribut.

Para ulama' sendiri berbeda pendapat tentang status bermacam-macam hadis.. dan mungkin hadis tentang satu topik itu jalur riwayatnya macam-macam.

Dan sighat (lafal) nya pun beda-beda, sehingga satu hadis yang dhaif mungkin bisa di kuatkan dan hadis dari jalur lagi satu tentang bab yang sama, meski lafalnya beda.

Jadi, janganlah mempersempit jalan yang luas dan lebar. Kalau di dalam kitab para imam Ahli Sunnah wal Jamaah ada termaktub, dan kita udah yakini imam tersebut (spt Imam Ghazali, al-Imam Abdullah al-Haddad, dll) maka nggak usah lah kita memperdengarkan bisikan was-was.
Posted by Uswah On 1:11 PM No comments READ FULL POST
Umar bin Abdil Aziz adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayah yang dikenal adil. Begitu adilnya sehingga dia disejajarkan dengan Sayidina Umar bin Khattab r.a. Karena namanya sama, maka dia pun disebut dengan panggilan Umar II atau Umar Ats-Tsani. Selama memerintah, seluruh waktunya dia abdikan untuk kesejahteraan rakyat, baik kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi.

Selain adil, dia juga sangat wara’. Dia begitu hati-hati dengan harta negara atau harta kaum muslimin, sehingga tak mau menyentuhnya barang sedikit pun.

Dia pun ahli ibadah. Siang hari dipakai melayani rakyat, malam hari untuk beribadah kepada Allah. Setiap malam dia selalu bangun dari tidurnya di kala semua orang terlelap dalam, lalu dia cari masjid yang ditinggalkan orang. Di situ dia melaksanakan salat tahajud sebanyak yang dia mampu.

Bila datang waktu sahur (penghujung malam, menjelang subuh), dia meletakkan dahi dan pipinya di atas tanah. Dia terus menangis sampai terbit fajar. Itulah kebiasaannya setiap malam.

Suatu kali dia melakukan hal demikian seperti biasa. Ketika dia mengangkat kepala, dan rampung dari salat serta memelasnya, dia mendapati secarik kertas berwarna hijau. Ada cahaya yang memancar dari langit pada kertas itu. Di situ tertulis, “Ini adalah pembebasan dari neraka untuk Umar bin Abdil Aziz dari Dzat Mahadiraja yang Mahaperkasa.”

Salat malam atau tahajud memang sarat rahasia. “Salat dua rakaat di malam hari adalah khazanah atau simpanan kekayaan di akhirat kelak,” tulis Zainuddin Ali Al-Malibari dalam kitabnya Hidayatul Atqiya’. Betapa tidak. Nabi SAW bersabda, “Manusia bakal dikumpulkan di satu tanah berdataran tinggi. Lalu terdengar seruan, ‘Di manakah orang-orang yang lambungnya menjauh dari pembaringan lalu melakukan salat (malam), sedang mereka tergolong orang yang sedikit.’ Kemudian masuklah mereka ke sorga tanpa dihisab.”

Khazanah atau simpanan kekayaan itu sangat kita butuhkan nantinya. Bakal menyelamatkan kita di hari tiada sanak, tiada anak. Alhasil, tiada siapapun yang mau menolong kita di hari itu, kecuali khazanah tersebut. Makanya, kata Syekh Zainuddin, “Perbanyaklah khazanah-khazanah lantaran kau pasti bakal membutuhkannya.”

Salat tahajud akan menyelamatkan kita dan memasukkan kita, dengan izin Allah, ke dalam sorga. Begitulah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin), sambunglah tali famili, dan lakukan salat malam sementara orang-orang tidur, niscaya kamu masuk sorga dengan selamat.”

Imam Al-Junaid adalah sufi yang mengisi malam-malamnya dengan salat tahajud. Setelah wafatnya, ada orang yang bermimpi melihat dia. “Apa yang diperbuat Allah kepada Guru?” tanya orang itu dalam mimpi.

Al-Junaid menjawab, “Sirna segala isyarat, hilang semua kata, punah seluruh ilmu, memuai segala perlambang. Tidak ada yang bermanfaat pada kami kecuali rakaat-rakaat kecil yang kami laksanakan di waktu sahur.”

Maksudnya, semua isyarat yang pernah diberikan Imam Al-Junaid kepada murid-murid, seluruhnya punah, binasa, dan tiada berpahala. Semua kata yang pernah dia ucapkan di kala mengajar hilang tak berbekas, tanpa menyisakan pahala. Perlambang-perlambang yang pernah dia sampaikan kepada murid-murid pemulanya, semua meranggas, dan Al-Junaid tak meraih pahala darinya. Pahala hanya dia peroleh dari salat-salat sunnah yang dia kerjakan di malam hari. Maksudnya, semua hal ini tidak dia dapatkan balasannya karena pada galibnya amal-amal demikian bercampur riya’ dan penyakit-penyakit hati lainnya, kecuali salat-salat sunnah di malam hari.

Imam Al-Junaid mengatakan hal itu, tidak lain, adalah untuk mendorong orang supaya bertahajud, di samping untuk menunjukkan keutamaan salat tahajud. Pasalnya, beliau adalah orang yang amalnya jauh dari kecampuran riya’ dan semacamnya. Betapa tidak, beliau adalah pemimpin para sufi.

Alhasil, salat tahajud sangat istimewa. Ibadah ini relatif lebih mudah untuk dilaksanakan dengan hati ikhlas karena Allah semata. Sebab, inilah amal yang tidak dilihat oleh orang lain. Jadi, kalau orang melakukan salat tahajud, dia mau pamer (riya’) kepada siapa? Tidak ada, karena semua orang sedang tertidur lelap.

Begitu istimewa sehingga inilah satu-satunya salat di luar salat lima waktu yang perintahnya ada dalam Al-Quran secara eksplisit – meski perintah itu ditujukan kepada Nabi SAW.

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad SAW.), beribadahlah kamu sepanjang malam kecuali sedikit saja (dari malam).” (Al-Muzzammil: 1-2)

Bagi Nabi SAW, salat malam hukumnya fardhu, sedang untuk umatnya adalah sunnah, yakni sunnah yang kuat. Begitu kuat kesunnahannya, sampai-sampai Nabi bersabda, “Seutama-utama salat setelah salat lima waktu ialah salat malam.”

Bukan hanya Nabi Muhammad SAW, para nabi sebelum beliau pun membiasakan salat malam ini. Bersabda beliau, “Hendaklah kalian melakukan salat malam karena itu merupaklan tradisi orang-orang saleh sebelum kalian.”

Imam Abu Yazid Al-Busthami punya cerita. Di masa kecilnya, beliau belajar di pesantren. Suatu kali, beliau membaca Al-Quran di rumah. Ketika sampai pada surah Al-Muzzammil, dia bertanya kepada ayahandanya, “Ayah, siapakah orang ini yang diperintah Allah supaya salat malam?”

Sang ayah menjawab, “Anakku, beliau adalah junjungan kita Nabi Muhammad SAW.”

Al-Junaid kecil bertanya lagi, “Lalu mengapa Ayah tidak mengerjakan apa yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW?”

“Anakku, itu adalah kehormatan dari Allah untuk beliau.”

Al-Junaid meneruskan ngaji Qur’annya. Ketika dia sampai pada bacaan: “Wa thaa’ifatun minal ladziina ma’ak” (dan melakukan salat malam pula, sekelompok orang yang bersamamu ) di surah Al-Muzzammil, dia bertanya, “Ayah, siapakah mereka?”

“Mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW.”

“Ayah, mengapa Ayah tidak berbuat seperti mereka?”

“Anakku, Allah menguatkan mereka untuk beribadah malam.”

“Ayah, tidak ada kebajikan bagi orang yang tidak mau mencontoh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau.”

Sejak itu ayah Al-Junaid terpanggil untuk selalu salat malam. Suatu kali si anak berkata kepada bapaknya, “Ayah, tolong ajari aku salat malam.”

Tapi bapaknya melarang. “Anakku, kamu masih kecil.”

Si anak berkata, “Ayah, kelak kalau Allah mengumpulkan seluruh makhluk di hari kiamat, dan menyuruh para penghuni sorga supaya masuk ke dalamnya, aku akan melapor, ‘Tuhan, aku sudah hendak salat malam, lalu ayah saya mencegah saya’.”

Bapaknya mati kutu. “Anakku, berdirilah, mari salat malam.”

Para ulama dan para sufi juga sangat gemar melaksanakan salat malam ini. Sampai-sampai ada seorang sufi yang berkata, “Tak ada yang membuatku sedih kecuali mendengar azan subuh.”

Allah memberikan sanjungan dan pujian bagi orang-orang selalu mendirikan shalat tahajud dalam QS. As Sajdah: 16

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya ("Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, untuk mengerjakan shalat malam") sedang mereka berdo'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka" (As Sajdah: 16)

Dan sanjungan Allah kepada kaum lainnya dengan firmanNya, QS. Adz Dzariyaat: 17-18

كَانُوا قَلِيْلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ وَبِالأَسْـحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)"

QS. Al Furqaan: 64

وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka"

Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Salam, bahwa Nabi Saw. bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

"Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah orang miskin makan, sambungkan tali kekeluargaan dan shalatlah pada waktu malam ketika semua manusia tidur, niscaya kalian masuk Surga dengan selamat"

Rabi’ah Al-Adawiyah, bila malam buta tiba, selalu menyempatkan diri untuk melakukan salat dan munajat. Dia beribadah malam dan bermunajat di malam hari dengan begitu “mesranya”. Seolah dia hanya berdua saja dengan-Nya, “ketika raja-raja telah menutup pintu gerbangnya.”

Salat malam memang bisa menjadi sarana yang sangat efektif untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri pada Allah. Senyapnya suasana di malam buta bisa membantu kita untuk merasakan “kehadiran-Nya” dan untuk lebih khusyu’ dalam salat kita. Sabda Rasulullah SAW, “Salat malam juga taqarrub bagi kalian, media bagi kalian untuk mendekat dan berdialog dengan Tuhan kalian. Salat malam pun penebus bagi kesalahan-kesalahan, pencegah dosa-dosa, dan penghalau penyakit di badan.”

Juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Bilal, bahwa Nabi saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِـقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِـيَامَ اللَّيْلِ مَقْرَبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّـكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ وَمُطَرِّدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ (صححه الحاكم ووافقه الذهبى

"Hendaklah kamu mendirikan shalat malam karena itu tradisi orang-orang shalih sebelummu. Sungguh, shalat malam mendekatkan dirimu kepada Tuhanmu, menghapuskan kesalahan, menjaga diri dari dosa dan mengusir penyakit dari tubuh" (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/308)

Dan ternyata sabda Rasulullah saw. memang benar-benar terbukti secara ilmiah yaitu dimana salat malam memang bisa menyembuhkan penyakit. Dr. Moh. Soleh, ahli kedokteran dari Unair Surabaya, telah membuktikan hal itu melalui penelitian ilmiyah untuk disertasinya yang berjudul “Terapi Salat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit.” Dalam disertasi yang sekarang telah dibukukan itu dia menjelaskan salat tahajud itu positif dapat menyembuhkan dan menangkal berbagai penyakit, terutama penyakit jantung. Sebab, salat tahajud yang dilakukan dengan ikhlas dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Selamat mencoba khasiat shalat tahajud.....wahai saudaraku semua, dan buktikan sendiri manfaatnya.
Posted by Uswah On 1:10 PM 7 comments READ FULL POST
Dapatlah kiranya kita bayangkan betapa indahnya sholat yang dilakukan Rasul dalam hidupnya sehingga beliau pernah berkata, ”Dan dijadikanlah penyejuk hatiku di dalam sholat.”

Sholat seorang muslim yang diawali dengan mengambil air wudlu yang benar dan menghadapkan hati dan tubuhnya ke hadirat Allah semata, seharusnya memang menjadi penyejuk sukma yang tiada bandingnya. Ketika takbir diucapkan, seisi dunia ini menjadi kecil dan tiada berarti lagi, sebab yang besar dan patut dipuja, tempat bersandar dan meminta pertolongan dan petunjuk hanyalah Allah semata.

Di dalam rukun Islam sholat ditempatkan pada urutan kedua setelah kalimat syahadat. Ini menjadi bukti betapa luhur dan agungnya kedudukan ibadah yang satu ini. Sholat adalah komunikasi langsung seorang muslim dengan Allah. Betapa tidak, sholat penuh dengan pengakuan segala kebesaran Allah. Sholat sarat dengan doa dan permohonan. Sholat juga merupakan perwujudan sikap rendah diri manusia terhadap sang Khalik. Ketika dahi ditempelkan diatas sajadah, setiap muslim menyadari betapa kecil dan tiada berartinya manusia ini dihadapan Yang Maha Kuasa.

Perintah sholat diturunkan melalui proses dan kejadian yang istimewa. Dibandingkan dengan perintah peribadatan yang lain seperti puasa dan zakat, kewajiban melaksanakan sholat diterima Rasul melalui misi perjalanan Isra’ dan M’iraj yang penuh keajaiban. Ini memberikan suatu petunjuk bahwa sholat memang memiliki kedudukan yang teramat khusus di hadapan Allah. Maka tidaklah mengherankan apabila peribadatan yang satu ini sama sekali tidak berpeluang untuk ditinggalkan dan tetap harus dijalankan sekali pun hanya dengan gerakan mata.

Maka sungguh beruntung orang-orang yang tekun menjaga dan mendirikan sholatnya. Di dalam surat Al Mu’minuun ayat 1 dan 2 Allah memuji orang-orang mukmin,

”Beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya.” Khusyuk dalam surat ini merupakan penjelasan Allah bahwa seorang mukmin yang berbahagia adalah orang-orang yang tatkala sholat selalu mengingat Allah, memusatkan semua pikiran dan panca inderanya serta bermunajat kepada Allah. Orang-orang ini menyadari dan merasakan bahwa ketika sholat, mereka benar-benar sedang berhadapan dengan Tuhannya. Maka oleh karena itu seluruh badan dan jiwanya diliputi kekhusyukan, kekhidmatan dan keikhlasan, disertai dengan rasa takut dan diselubungi dengan penuh harapan.

Untuk dapat memenuhi syarat kekhusyukan ini ada tiga perkara yang harus dipenuhi oleh seorang yang sedang sholat :

Yang pertama adalah mengerti tentang apa yang sedang dia baca. Ini sesuai dengan ayat,

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad : 24)

Yang kedua adalah ingat kepada Allah dan takut kepada ancamanNya, sesuai dengan firmanNya,

”Dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha : 14)

Yang ketiga, karena sholat berarti bermunajat kepada Allah, maka pikiran dan perasaan harus selalu mengingat dan tidak lengah atau lalai. Sekali pun ketidak-khusyukan seseorang di dalam sholatnya tidak akan membatalkan sholat ini, namun para ulama menggambarkan sholat seperti ini laksana tubuh yang tidak berjiwa.

Selain menjadi alat komunikasi dan pendekatan yang utama, sholat seyogyanya juga menjadi benteng yang paling kokoh di dalam menjaga seseorang dari segala perbuatan dosa dan munkar. Sholat yang dilakukan dengan benar dan penuh khidmat semata karena Allah, pasti akan menjaga kadar iman seseorang menuju mukmin hakiki. Ada orang yang berkata bahwa sholat seseorang tidak merupakan jaminan perilakunya. Permasalahannya adalah kualitas sholat ini. Orang yang masih suka berdusta atau mengambil hak orang lain sementara dia juga melakukan sholat, perlu dikaji lebih jauh kadar kualitas sholatnya. Perhatikan petunjuk Allah dalam surat Al-Ankabuut ayat 45,

”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Qur’an dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas memerintahkan Rasul agar selalu membaca, mempelajari dan memahami Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, ia akan mengetahui kelemahan dan rahasia dirinya sehingga ia pun dapat memperbaiki serta membina dirinya sesuai dengan tuntunanNya. Perintah ini juga ditujukan kepada seluruh kaum muslimin. Penghayatan seseorang terhadap kalam Ilahi yang pernah dibacanya itu akan termanifestasi pada sikap, tingkah laku dan budi pekerti orang yang membacanya.

Setelah Allah memerintahkan membaca dan mempelajari serta melaksanakan ajaran-ajaran Al-Qur’an, maka Allah memerintahkan pula agar kaum muslimin mengerjakan sholat wajib lima waktu. Sholat ini hendaklah dikerjakan dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya serta dilaksanakan dengan penuh kekhusyukan. Sangat dianjurkan pula agar sholat dikerjakan lengkap dengan sunnah-sunnahnya. Jika sholat dikerjakan sedemikian rupa, maka ia akan dapat menghalangi dan mencegah orang dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

Ketika seseorang berdiri mengerjakan sholat, ia pun memohon petunjuk Allah dengan doanya, ”Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai atau orang-orang yang sesat.” Ini adalah perwujudan dari keyakinan orang yang melaksanakan sholat dan menjadi bukti bahwa dirinya sangat bergantung kepada nikmat Allah. Oleh karena itu, ia pun berusaha sebisa mungkin untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya.

Sebagian Ahli tafsir berpendapat bahwa yang memelihara orang yang mengerjakan sholat dari perbuatan keji dan munkar adalah sholat itu sendiri. Artinya, selama orang ini memelihara sholatnya, maka sholat ini akan senantiasa memeliharanya. Perhatikan peringatan Allah dalam Al-Baqarah 233

: ”Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah di dalam sholatmu karena Allah dengan khusyuk.”

Di dalam salah satu sabdanya, Rasul berkata : ”Barang siapa yang memelihara sholat, ia akan memperoleh cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat, dan barang siapa yang tidak memeliharanya, ia tidak akan memperoleh cahaya, petunjuk dan tidak pula keselamatan. Pada hari kiamat, ia akan dikumpulkan dengan Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubai bin Khalaf.” Nabi menerangkan pula bagaimana orang-orang yang mengerjakan sholat lima waktu dengan sungguh-sungguh disertai rukun dan syarat-syaratnya serta dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Nabi melukiskan orang-orang ini seakan dosa mereka dicuci lima kali sehari sehingga tidak sedikit pun yang akan tertinggal dari dosa-dosa ini. Bahkan Rasul menggambarkan sungai di depan pintu rumah dimana orang-orang ini mandi dan membersihkan tubuh mereka lima kali sehari sehingga tak akan tersisa lagi pada tubuh mereka itu daki dan kotoran.

Ketika kita mencita-citakan sesuatu yang berarti dalam hidup kita, biasanya kita bersedia mengorbankan banyak hal untuk mencapai keinginan kita itu. Kita tahu, semua pengorbanan dan jerih payah yang kita lakukan, kelak akan memberikan suatu kebahagiaan dan kepuasan. Sholat yang kita lakukan sepanjang usia kita merupakan sarana pendekatan diri kepada Allah yang tiada bandingnya. Ada kalanya mungkin terasa berat sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Baqarah 45, ”Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan sholat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” Namun, dibalik yang terasa berat ini terdapat jalan menuju cita-cita yang demikian luhurnya dan jauh tiada berbanding dengan rasa enggan dan pengorbanan kita.

Sholat adalah ibadah yang sangat utama dimana seorang muslim bermunajat kepada Allah lima kali dalam sehari. Menurut riwayat Imam Ahmad, setiap kali Rasul menghadapi kesulitan dan musibah, beliau segera melakukan sholat. Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat-sahabat beliau. Sabda Rasul yang saya kutipkan diawal tulisan ini menjadi bukti betapa kecintaan, kedekatan dan kesetiaan beliau kepada sholat. Kedua kaki beliau yang mulia itu bahkan sempat membengkak karena lamanya beliau berdiri ketika sholat.

Kalau tadi saya menggambarkan bagaimana seseorang berusaha dengan segala daya untuk meraih cita-cita dalam hidupnya, maka yang ingin diraih oleh orang-orang yang khusyuk dalam sholat adalah keridhaan Allah. Bagi orang-orang ini, mendirikan sholat tidaklah dirasakan berat, sebab pada saat-saat begitu mereka seolah hanyut dan tenggelam di dalam munajat mereka sehingga tiadalah mereka merasakan dan mengingat yang lain, termasuk di dalamnya segala kesukaran dan penderitaan hidup yang mereka alami. Hal ini tidaklah membuat kita heran sebab barangsiapa yang mengetahui hakikat apa yang dicarinya, niscaya ringan baginya mengorbankan apa saja untuk memperolehnya.

Sholat juga berperan sebagai pembentuk akhlak manusia. Di dalam surat Al-Maarij ayat 20-22 Allah melukiskan sifat-sifat manusia yang manakala tertimpa kesusahan berkeluh kesah dan ketika memperoleh kebaikan menjadi kikir. Perkecualiannya hanyalah orang-orang yang melaksanakan sholat dengan khusyuk. Sebagai rukun Islam yang kedua, sholat menjadi pembeda antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir. Orang yang senantiasa melakukan sholat akan selalu terikat hubungan dan ingat kepada Tuhannya. Sebaliknya, mereka yang lalai kepada sholat, akan putuslah hubungannya dengan Allah. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah.

”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha : 14)

”Kecuali orang-orang yang melakukan sholat” sebagaimana terfirman dalam surat Al-Maarij diatas adalah suatu label istimewa yang diberikan Allah. Namun ayat ini tidak berakhir disini, sebab kemudian Allah memberikan ciri bagi mereka itu, yaitu orang-orang yang ketika sholat, mereka melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Orang yang khusyuk dalam sholatnya, hati dan pikirannya akan tertuju kepada Allah. Timbul dalam hatinya rasa takut terhadap siksa Allah karena menyadari dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Ia pun penuh berharap agar limpahan pahala, rahmat dan karuniaNya tercurah kepadanya. Kekhusyukan sholat ini seakan menanamkan janji di dalam hatinya untuk menjauhi larangan-larangan Allah. Hatinya pasrah dan tenteram penuh tawakkal. Orang-orang yang mengerjakan sholat sedemikian ini akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar.

Sholat juga mendidik kita menjaga disiplin diri. Waktu-waktu sholat yang telah tertentu lima kali dalam sehari adalah tindakan ubudiyah yang kalau dilaksanakan dengan baik akan menanamkan disiplin yang tinggi. Ketentuan melakukan sholat lima kali dalam sehari pada waktu-waktu yang sudah ditentukan merupakan perintah Ilahiah yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Pelaksanaan perintah Allah pada waktu-waktu yang sudah ditentukan ini menanamkan sikap disiplin pada diri setiap muslim di dalam menjalankan kewajiban sehari-hari. Amati isyarat Allah dalam Al-Isra’ 78 :

”Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula sholat subuh. Sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan oleh para malaikat.”

Ayat diatas menerangkan waktu-waktu sholat yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu sholat zuhur dan asyar, gelap malam untuk waktu maghrib dan isya’. Ayat ini memerintahkan agar Rasul mendirikan sholat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam serta mendirikan sholat subuh. Maksudnya ialah mendirikan sholat lima waktu yakni Zuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh pada waktu yang telah ditentukan.

Mendirikan sholat lima waktu berarti mengerjakan sholat lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan ygn diperintahkan Allah, baik menurut lahir ataupun batin. Secara lahir berarti sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan agama, dan secara batin berarti mengerjakan sholat dengan hati, tunduk dan patuh kepada Allah karena menyadari keagungan dan kekuasaan Allah, pencipta seluruh alam ini.

Berbicara tentang ibadah sholat yang teramat luhur ini, teringatlah kita pada salah satu sholat yang demikian besar artinya yaitu sholat Jum’at yang wajib hukumnya dilaksanakan sekali dalam seminggu. Selain diisi dengan sholat Jum’at berjamaah, kegiatan ini juga diisi khutbah Jum’at yang sarat dengan wasiat taqwa dan doa. Betapa pentingnya sholat ini sehingga tatkala waktunya telah tiba, Allah memerintahkan kita meninggalkan semua kegiatan dan menyegerakan diri menuju dzikrullah.

Tak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan kita meninggalkan kegiatan mulia ini kecuali yang sudah ditentukan seperti hujan atau sakit. Kita diberi Allah kenikmatan tak terhitung dalam hidup ini sementara yang diwajibkan untuk kita laksanakan tidaklah banyak. Di dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9 Allah berseru,

”Wahai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual- beli karena yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Seruan Allah ini jelas ditujukan kepada kelompok orang-orang beriman. Saya yakin, tak seorang pun diantara kita, yang ketika mendengar seruan ini, merasa tidak termasuk orang-orang beriman yang sedang mendapat seruan …….. !
Posted by Uswah On 1:06 PM No comments READ FULL POST
Rukun-rukun mandi wajib ada dua, yaitu :

1. Niat

Yaitu dengan hati pada saat pertama kali membasuh anggota badan.

Macam-macam niat mandi antara lain :

نَوَيْتُ رَفْعَ الْجنابة (saya niat menghilangkan janabat)

نَوَيْتُ رَفْعَ اْلحَدَثْ اْلاكْبَر(saya niat menghilangkan hadats besar)

نَوَيْتُ فَرْضَ الْغُسْلِ (saya niat mandi wajib)

نَوَيْتُ الطَّهَارَةَ لِلصَّلاَةِ (saya niat bersuci untuk shalat)

2. Meratakan air ke seluruh anggota badan (kulit dan bulu yang tumbuh padanya).

Dengan memperhatikan tempat-tempat yang sulit dilalui air, seperti ketiak, lipatan perut, telinga dan lain-lain.

Hal-hal yang disunnahkan ketika mandi :

Segala yang disunnahkan ketika wudlu’, disunnahkan pula ketika mandi seperti membaca basmalah, bersiwak, menghadap kiblat, membasuh kedua telapak tangan, berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), menggosok badan, mendahulukan yang kanan, muwalah (berkesinambungan) dan lain lain.

Selain itu disunnahkan pula kencing sebelum mandi, berdiri, menghilangkan kotoran tubuh, berwudlu’, menyela-nyelai rambut, tiga kali dalam basuhan, mandi dengan menutup aurat (jika mandi sendirian, namun jika dihadapan orang lain hukumnya wajib) dan lain-lain.

Hal-hal yang dimakruhkan ketika mandi wajib :

1. Isrof dalam menggunakan air (lebih dari kebutuhan).

2. Mandi di air yang menggenang.

3. Basuhan lebih dari tiga kali.

4. Meninggalkan kesunahan seperti berkumur, istinsyaq (memasukkan air ke lubang hidung), dll.

Tata cara mandi dengan sempurna :

1. Menghilangkan kotoran terlebih dahulu, seperti mani, kencing dan lain-lain.

2. Kemudian menghadap qiblat, membaca basmalah , bersiwak, membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan istinsyaq, masing masing tiga kali dengan niat mengerjakan sunnah-sunnah mandi.

3. Membasuh dua kemaluan dengan niat menghilangkan janabat pada keduanya.

4. Berwudlu’ sebagaimana biasanya.

5. Mengguyur kepala sambil niat seperti niat-niat di atas.

6. Menyiramkan air pada bagian depan dan belakang tubuh sebelah kanan, kemudian bagian depan dan belakang tubuh sebelah kiri, sambil memperhatikan anggota badan yang sulit dilalui air.

Masalah wudhu’ bagi orang yang mandi janabah ada dua pendapat.

Pertama :dicukupkan dengan mengangkat hadats besar (mandi) karena dengan sendirinya hadats kecil terangkat pula dengan syarat di waktu melaksanakan mandi tidak melakukan perkara yang membatalkan wudhu’ seperti menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Dan ini adalah pendapat yang mu’tamad.

Kedua : tidak cukup dengan mandi (diharuskan wudhu’) karena hadats kecil terangkat dengan wudhu’ dan hadats besar terangkat dengan mandi, permasalahan berbeda dan hukumnya tentunya berbeda.

التقريرات السديدة في المسائل المفيدة 118

فروض الغسل اثنان : الأول النية. وقتها أول الغسل لأن البدن في الغسل كالعضو الواحد, كما قال صاحب ((صفوة الزبد)) : ونية بالإبتداء اقترنت # كالحيض, أو جنابة تعينت
إلى قوله الثاني تعميم البدن بالماء, أي كل البدن. كما قال صاحب ((صفوة الزبد)) :
والفرض تعميم لجسم ظهرا # شعرا وظفرا منبتا وبشرا
فيتعهد المواضع التي يخشى عدم وصول الماء إليها, كالإبطين ومعاطف البطن والأذنين وما بين الفخذين وما بين الإليتين.

الاقناع في حل ألفاظ أبي شجاع – (1 / 95)

وسننه أي الغسل كثيرة المذكور منها هنا خمسة أشياء وسنذكر منها أشياء بعد ذلك الأولى التسمية مقرونة بالنية كما صرح به في المجموع هنا وقد تقدم في الوضوء بيان أكملها و الثانية الوضوء كاملا قبله للاتباع رواه الشيخان وقال في المجموع نقلا عن الأصحاب وسواء أقدم الوضوء كله أو بعضه أم أخره أم فعله في أثناء الغسل فهو محصل للسنة لكن الأفضل تقديمه ثم إن تجردت الجنابة عن الحدث الأصغر كأن احتلم وهو جالس متمكن نوى سنة الغسل وإلا نوى رفع الحدث الأصغر وإن قلنا يندرج خروجا من خلاف من أوجبه فإن ترك الوضوء أو المضمضة أو الاستنشاق كره له ويسن له أن يتدارك ذلك و الثالثة إمرار اليد في كل مرة من الثلاث على ما أمكنه من الجسد فيدلك ما وصلت إليه يده من بدنه احتياطا وخروجا من خلاف من أوجبه وإنما لم يجب عندنا لأن الآية والأحاديث ليس فيهما تعرض لوجوبه ويتعهد معاطفه كأن يأخذ الماء بكفه فيجعله على المواضع التي فيها انعطاف والتواء كالإبط والأذنين وطبقات البطن وداخل السرة لأنه أقرب إلى الثقة بوصول الماء ويتأكد في الأذن فيأخذ كفا من ماء ويضع الأذن عليه برفق ليصل الماء إلى معاطفه وزواياه و الرابعة الموالاة وهي غسل العضو قبل جفاف ما قبله كما مر في الوضوء و الخامسة تقديم غسل جهة اليمنى من جسده ظهرا وبطنا على غسل جهة اليسرى بأن يفيض الماء على شقه الأيمن ثم الأيسر لأنه صلى الله عليه وسلم كان يحب التيامن في طهوره متفق عليه وقدمنا أن سنن الغسل كثيرة فمنها التثليث تأسيا به صلى الله عليه وسلم كما في الوضوء وكيفية ذلك أن يتعهد ما ذكر ثم يغسل رأسه ويدلكه ثلاثا ثم باقي جسده كذلك بأن يغسل ويدلك شقة الأيمن المقدم ثم المؤخر ثم الأيسر كذلك مرة ثم ثانية ثم ثالثة كذلك للأخبار الصحيحة الدالة على ذلك ولو انغمس في ماء فإن كان جاريا كفى في التثليث أن يمر عليه ثلاث جريات لكن قد يفوته الدلك لأنه لا يتمكن منه غالبا تحت الماء إذ ربما يضيق نفسه وإن كان راكدا انغمس فيه ثلاثا بأن يرفع رأسه منه أو ينقل قدميه أو ينتقل فيه من مقامه إلى آخر ثلاثا لا يحتاج إلى انفصال جملته ولا رأسه كما في التسبيع من نجاسة الكلب فإن حركته تحت الماء كجري الماء عليه ولا يسن تجديد الغسل لأنه لم ينقل ولما فيه من المشقة بخلاف الوضوء فيسن تجديده إذا صلى بالأول صلاة ما كما قاله النووي في باب النذر من زوائد الروضة لما روى أبو داود وغيره أنه صلى الله عليه وسلم قال من توضأ على طهر كتب الله له عشر حسنات ولأنه كان في أول الإسلام يجب الوضوء لكل صلاة فنسخ الوجوب وبقي أصل الطلب ويسن أن تتبع المرأة غير المحرمة والمحدة لحيض أو نفاس أثر الدم مسكا فتجعله في قطنة وتدخلها الفرج بعد غسلها وهو المراد بالأثر ويكره تركه بلا عذر كما في التنقيح والمسك فارسي معرب الطيب المعروف فإن لم تجد المسك أو لم تمسح به فنحوه مما فيه حرارة كالقسط والأظفار فإن لم تجد طيبا فطينا فإن لم تجده كفى الماء أما المحرمة فيحرم عليها الطيب بأنواعه والمحدة تستعمل قليل قسط أو أظفار ويسن أن لا ينقص ماء الوضوء في معتدل الجسد عن مد تقريبا وهو رطل وثلث بغدادي والغسل عن صاع تقريبا وهو أربعة أمداد لحديث مسلم عن سفينة أنه صلى الله عليه وسلم كان يغسله الصاع ويوضئه المد ويكره أن يغتسل في الماء الراكد وإن كثر أو بئر معينة كما في المجموع وينبغي أن يكون ذلك في غير المستبحر

فقه العبادات – شافعي – (1 / 145)

مكروهات الغسل : – 1 – الإسراف في الماء لقوله تعالى : { إنه لا يحب المسرفين } ( الأنعام 141 )
ولما روي عن عبد الله بن مغفل رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ( إنه سيكون في هذه الأمة قوم يعتدون في الطهور والدعاء ) ( أبو داود ج 1 / كتاب الطهارة باب 45 / 96 ، ويعتدون في الدعاء : أي يتجاوزون حده كأن يقول : اللهم إني أسألك القصر الأبيض عن يمين الجنة إذا دخلتها )
- 2 – الغسل في الماء الراكد الذي لا يجري سواء في ذلك قليل الماء وكثيره لحديث أبو هريرة رضي الله عنه قال : ” قال النبي صلى الله عليه و سلم ( لا يغتسل أحدكم في الماء الدائم وهو جنب ) فقيل : كيف يفعل يا أبا هريرة ؟ قال يتناوله تناولا ” ( مسلم ج 1 / كتاب الطهارة باب 29 / 97 )
- 3 – الزيادة على الثلاث
- 4 – ترك المضمضة والاستنشاق خروجا من خلاف من جعلهما من العلماء فرضا

إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 94)

(قوله: والافضل عدم تأخير غسل قدميه) هذا لا يلائم قوله: ثم وضوء كاملا. إذ كماله إنما يكون بعدم تأخير غسل قدميه. والاولى في المقابلة أن يقول كما في المنهاج. وفي قول: يؤخر غسل قدميه. (قوله: وإن ثبت تأخيرهما) أي القدمين، أي غسلهما. وقوله: في البخاري فقد روي فيه أنه (ص) توضأ وضوءه للصلاة غير غسل قدميه. (قوله: ولو توضأ أثناء الغسل أو بعده) في البجيرمي ما نصه: لو اغتسل ثم أراد أن يتوضأ، فهل ينوي بالوضوء الفريضة لانه لم يتوضأ قبله ؟ أو ينوي به السنة لان وضوءه اندرج في الغسل ؟. الجواب: أنه إن أراد الخروج من الخلاف نوى به الفريضة، وإلا نوى به السنة، فيقول: نويت سنة الوضوء للغسل. وكذا يقول إذا قدمه، إن تجردت جنابته عن الحدث وإلا فنية معتبرة. اه. ابن شرف اه. (قوله: لكن الافضل تقديمه) أي الوضوء على الغسل. (قوله: ويكره تركه) أي الوضوء، خروجا من خلاف موجبه القائل بعدم الاندراج، كما سيذكره. (قوله: وينوي به سنة الغسل) قال في التحفة: أي أو الوضوء كما هو ظاهر. (قوله: إن تجردت جنابته) أي انفردت عنه، كأن نظر فأمنى أو تفكر فأمنى. وقوله: وإلا أي وإن لم تتجرد عنه بل اجتمعت معه كما هو الغالب. نوى به رفع الحدث. وظاهر هذا أنه ينوي ما ذكر وإن أخر الوضوء عن الغسل، وهو كذلك إن أراد الخروج من الخلاف، وإلا نوى به سنة الغسل كما مر قريبا. وفي بشرى الكريم ما نصه: وينوي به رفع الحدث الاصغر، وإن تجردت جنابته عنه وإن أخره عن الغسل، خروجا من خلاف القائل بعدم اندراج الاصغر في الاكبر، ومن خلاف القائل: إن خروج المني ينقض الوضوء. وينبغي لمن يغتسل من نحو إبريق. قرن النية بغسل محل الاستنجاء، إذ قد يغفل عنه فلا يتم طهره، وإن ذكره احتاج إلى لف خرقة على يده وفيها كلفة، أو إلى المس فينتقض وضوءه. فإذا قرنها به يصير على الكف حدث أصغر دون الاكبر، فيحتاج إلى غسلها بنية الوضوء. فالاولى أن ينوي رفع الحدث عن محل الاستنجاء فقط ليسلم من ذلك. اه بزيادة. وهذه المسألة تسمى بالدقيقة ودقيقة الدقيقة. فالدقيقة: النية عند محل غسل الاستنجاء، ودقيقة الدقيقة: بقاء الحدث الاصغر على كفه. والمخلص من ذلك أن يقيد النية بالقبل والدبر، كأن يقول: نويت رفع الحدث عن هذين المحلين. فيبقى حدث يده ويرتفع بالغسل بعد ذلك كبقية بدنه. (قوله: خروجا إلخ) أي ينوي رفع الحدث الاصغر، خروجا من خلاف موجب الوضوء. وقوله: بعدم الاندراج أي اندراج الحدث الاصغر في الاكبر. (قوله: لزمه الوضوء) أي عند إرادة نحو الصلاة، كما هو ظاهر
Posted by Uswah On 1:05 PM No comments READ FULL POST
Dalam acara walimatul arusy (pesta perkawinan) dan walimah-walimah yang lain serta acara peringatan haul, sering diadakan kegiatan membaca istighosah dan dzikrul ghofilin, dan atau mambaca tahlilan dalam bentuk "selametan", bahkan ada juga yang tidak diselenggarakan acara apapun lainnya, misalnya tanpa ada acara bacaan istighatsah atau tahlil.

Pertanyaan:

Apakah kegiatan acara tersebut sesuai dengan sasarannya, dan bagamana seharusnya menyelenggarakan suatu walimahan yang baik ?

Jawab:
• Acara yang dilakukan dalam suatu walimah hendaknya sesuai dengan konteksnya (muqtadhol hal) agar dapat memperoleh sasarannya. Seperti acara untuk walimatul arusy dengan melakukan acara doa atau istighatsah dan menabuh rebana, karena dalam walimatul Ursy Rasulullah SAW memproklamasikannya dengan memukul rebana.

• Demikian juga membaca istighosah, bacaan tahlil dan atau dzikrul ghofilin dalam bentuk acara "selametan" yang dilakukan pada waktu malam sebelum walimatul Ursy (walimah pernikahan) yang bertujuan kirim doa kepada leluhur dan berdoa untuk kesuksesan acara walimatul Ursy yang akan diselenggarakan, semuanya itu merupakan kegiatan atau acara yang sesuai dengan konteksnya / tetap sasarannya. Karena membaca istighosah, bacaan tahlil dan atau dzikrul ghofilin dalam walimah apapun dapat dilakukan, dan pahalanya tetap sampai pada yang didoakan.

ومأخذه :

( 1) صحيح البخاري (الجزء الثاني عشر, ص/395) و نصه :

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ

(2) سنن الترمذي (الجزء الرابع, ص / 269) و نصه :

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيَّ غَدَاةَ بُنِيَ بِي فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِدُفُوفِهِنَّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِلَى أَنْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍفَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْكُتِي عَنْ هَذِهِ وَقُولِي الَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ قَبْلَهَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
(3) اتحاف السادة المتقين ( الجزءالخامس ، ص /354 ) ونصه :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أعلنوا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدفوف.

Adapun perihal sampainya amalan, shadaqoh dan bacaan tahlil serta istighotsah yang dilakukan --- menurut kaum sunni syafi'iyah -- tetap sampai kepada mayit.

ومأخذه :

(1) شعب الإيمان للبيهقي (الجزء الخامس, ص/470) و نصه :

عن معقل بن يسار المزني ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « من قرأ يس ابتغاء وجه الله عز وجل غفر له ما تقدم من ذنبه فاقرءوها عند موتاكم »

(2) بُلُوغُ اَلْمَرَامِ مِنْ أَدِلَّةِ اَلْأَحْكَامِ (الجزءالأول,ص/190) و نصه :

وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

(3) حجة أهل السنة والجماعة ( ص / 13 ) ونصه :

ومذهب الشافعية ان الصدقة يصل ثوابها الى الميت باتفاق، واما القراءة فالمختار كما في شرح المنهاج وصول ثوابها الى الميت ، وينبغى الجزم به لأنه دعاء
Posted by Uswah On 1:03 PM No comments READ FULL POST
Pada saat ini, banyak dijumpai model pengobatan baik secara medis atau non medis, yang sering disebut pengobatan alternatif. Salah satu cara pengobatan alternatif (non-medis) misalnya mengobati pasien dengan cara mengorbankan hewan yang muhtarom (yang dimulyakan / halal), seperti kambing, ayam, kerbau dan lain-lain, dan yang sering dilakukan dalam hal ini adalah pengobatan dengan cara memindahkan penyakit pasien kepada kambing.

Pertanyaan :

a. bagaimana hukumnya memindahkan penyakit pasien kepada kambing misalnya, kemudian kambingnya dipotong?

b. Bagaimana hukumnya memindahkan penyakit pasien pada kambing dan kambing langsung mati tanpa dipotong?

Jawab :

a. Boleh, apabila sudah sampai batas dlorurot atau hajat, demi keselamatan manusia muhtarom dengan beberapa catatan:

1) Hal tersebut menjadi alternatif yang terakhir;

2) Pasien tersebut termasuk muhtarom 'inda al-syar'i (orang yang dimuliakan dalam pandangan Islam);

3) Sakitnya sampai kondisi mubihut tayammum (diperkenankan untuk bertayammum).

ومأخذه :

(1) نهاية المحتاج ( الجزء الثاني , ص / 21-22 ) ونصه :

(ولو وصل عظمه) أي عند احتياجه له لكسر ونحوه (بنجس من العظم ولو مغلظا لفقد الطاهر) الصالح لذلك (فمعذور) فيه - الى ان قال - فقد نص فى المختصر بقوله ولا يصل الى ما إنكسر من عظمه الا بعظم ما يؤكل لحمه ذكيا ويؤخذ منه انه لايجوز الجبر بعظم الأدمي مطلقا فلو وجد نجسا يصلح وعظم ادمي كذاك وجب تقديم الأول .(قوله ولووصل عظمه) ظاهره ولوكان الواصل غير معصوم لكن قيده حج بالمعصوم (قوله عند احتياجه) اي بان خشي مبيح التيمم ولولم يصل به اتني حج (قوله وجب تقديم الاول) اي وان كان حيا فيجوز قطع عضوه مثلا ليصل بعظمه ولايجوز له العدول عنه الى عظم الأدمي الميت لحرمته.اهـ

(2) الباجورى ( الجزء الأول , ص /34 ) ونصه :

(الميتة) - الى أن قال - وماشك في سيل دمه وعدمه فهل يجوز شق عضو منه اولا ؟ قال بالاول الرملي تبعا للغزالى لأنه لحاجة وقال بالثانى ابن حجر تبعا لامام الحرمين لما فيه من التعذيب ـ

(3) الفقه الاسلامى ( الجزء الثالث , ص /522 ) ونصه :

واجاز الشافعي شق بطن الميت لإخراج ولدها وشق بطن الميت لإخراج مال منه – الى ان قال - وبناء على هذه الأراء المبيحة يجوز التشريح عند الضرورة او الحاجة لقصد التعليم لأغراض طبية او لمعرفة اسباب الوفاة واثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية اذا توقف عليها الوصول الى الحق فى امر الجناية الى ان قال كذلك يجوز تشريح جثت الحيوان للتعليم لأن المصلحة فى التعليم تجوز احساسها بالألم اهـ.

(4) المجموع للنووي ( الجزء التاسع ,ص / 50-51) ونصه :

وعليه يحمل حديث (ان الله لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم ) فهوحرام عند وجود غيره وليس حراما اذا لم يجد غيره. اهـ

(5) اعانة الطالبين ( الجزء الرابع , ص / 129) ونصه :

والقاء الدواب لسلامة الأدمى المحرم ان تعين لدفع الغرق. اهـ
Posted by Uswah On 12:52 PM No comments READ FULL POST
1. Apakah semua hadits butuh syarah/penjelasan dan tidak bisa hanya diambil dhohir lafadznya saja?

2. bagaimanakah hukumnya seseorang yg menjelaskan sebuah hadits hanya berdasarkan akal dan perasaannya dan hadist tersebut ia jadikan untuk mendukung opininya tentang suatu hal?

3. Apakah batal jika saat puasa kita membersihkan telinga, saya pernah dengar kalau pada saat puasa tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh ?


JAWABAN :

Tidaklah semua orang bisa mengartikan hadits, karena untuk mengartikannya membutuhkan disiplin ilmu bahasa arab dan gramatikalnya (ilmu nahwu), ilmu tentang nasikh dan mansukh nya hadits serta mustolah hadits dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk menafsirkan hadits sebelum mengetahui beberapa fan ilmu di atas. Namun haruslah berpegangan pada tafsiran para ulama’ yang kompeten dalam ilmunya, yaitu menggunakan kitab syarh mereka bukan dengan menggunakan akal pikiran sendiri. Karena memungkinkan hadits itu ternyata mansukh dengan hadits lain yang lebih akhir, atau tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Nabi. Padahal Rasulullah SAW bersabda :

من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“ barang siapa secara sengaja mendustakan atasku, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di neraka “

Sebagai contoh : hadits Nabi SAW :

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Diriwayatkan dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda “ tidaklah beriman salah satu diantara kalian sehingga menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia suka bagi dirinya sendiri “

Jika kita pandang dari makna dhohir hadits saja, kita akan menganggap banyak orang menjadi kafir karena tidak menyukai untuk saudaranya apa yang dia suka untuk dirinya sendiri. Padahal itu sangatlah sulit bagi setiap orang mukmin, karena secara tabiat orang lebih menyukai untuk dirinya sendiri daripada untuk saudaranya. Adapun menurut para ulama’ maksud dari hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan keimanan), artinya : tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.

Demikian juga dengan hadits Nabi SAW :

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“ tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid ”

Dhohir arti hadits tersebut shalatnya orang yang bertetangga masjid yang dilakukan di rumah tidak sah. Sedangkan menurut para ulama’ maksud hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan) : artinya tidaklah sempurna shalat tetangga masjid kecuali dilakukan di masjid.

Hadits lain Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِن بِاَللَّهِ وَالْيَوْم الْآخِر فَلْيُكْرِمْ ضَيْفه

“ barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya “

Dhohir arti hadits tersebut adalah orang yang tidak memuliakan tamunya atau bahkan mengusir tamunya dihukumi kafir. Padahal bukanlah demikian, karena yang dimaksud hadits tersebut sebagaimana keterangan ulama’ adalah alkamal (kesempurnaan iman). Artinya orang yang memuliakan tamu adalah orang yang sempurna keimanannya.

Dan masih banyak sekali hadits-hadits lain semisal hadits di atas yang tidak bisa kami sebutkan yang intinya kita tidak bisa hanya mengambil dari dhohir makna hadits tapi harus lebih dicermati lagi. Oleh karena itu wajib bagi kita yang belum kompeten dalam keilmuannya untuk berpegangan pada tafsiran para ulama’.

Adapun membersihkan telinga bagi orang yang sedang puasa, jika sampai pada bagian dalam telinga (batin telinga), menurut pendapat yang kuat membatalkan puasa jika dilakukan dalam keadaan sengaja dan ingat. Namun menurut pendapat yang lemah dan pendapat Imam al-Ghozali tidak membatalkan karena telinga bukan termasuk lubang yang tembus ke bagian dalam tubuh.

مقدمة ابن الصلاح – (ج 1 / ص 47)

عن أبي داود السنجي قال: سمعت الأصمعي يقول: أن أخوف ما أخاف على طلاب العلم، إذا لم يعرف النحو: أن يدخل في جملة قول النبي صلى الله عليه وسلم: ” من كذب علي فليتبوأ مقعدء من النار ” لأنه صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن، فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه. قلت: فحق على طالب الحديث أن يتعلم من النحو واللغة ما يتخلص به من شين اللحن والتحريف ومعرتهما. روينا عن شعبة قال: من طلب الحديث ولم يبصر العربية فمثله مثل رجل عليه رجل برنس ليس له رأس،أوكما قال. عن حماد بن سلمة قال: مثل الذي يطلب الحديث و لايعرف النحو مثل الحمار عليه مخلاة لا شعير فيها. وأما التصحيف: فسبيل السلامة منه الأخذ من أفواه أهل العلم والضبط، فإن من حرم ذلك: و كان أخذه وتعلمه من بطون الكتب، كان من شأنه التحريف، ولم يفلت من التبديل والتصحيف، والله أعلم.

الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث – (ج 1 / ص 19)

“ فرع آخر ” : ينبغي لطالب الحديث أن يكون عارفاً بالعربية. قال الأصمعي: ” أخشى عليه إذا لم يعرف العربية أن يدخل في قوله: ” من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار ” ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن ” فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه ” .وأما التصحيف، فدواؤه أن يتلقاه من أفواه المشايخ الضابطين. والله الموفق.

شرح النووي على مسلم – (ج 1 / ص 126)

- قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ )
هَكَذَا هُوَ فِي مُسْلِم لِأَخِيهِ أَوْ لِجَارِهِ عَلَى الشَّكِّ ، وَكَذَا هُوَ فِي مُسْنَد عَبْد بْن حُمَيْدٍ عَلَى الشَّكِّ ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِيِّ وَغَيْره ( لِأَخِيهِ ) مِنْ غَيْر شَكٍّ ، قَالَ الْعُلَمَاء رَحِمَهُمْ اللَّه : مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة . وَالْمُرَاد يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الطَّاعَات وَالْأَشْيَاء الْمُبَاحَات وَيَدُلّ عَلَيْهِ مَا جَاءَ فِي رِوَايَة النَّسَائِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيث ” حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الْخَيْر مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ” قَالَ الشَّيْخ أَبُو عَمْرو بْن الصَّلَاح : وَهَذَا قَدْ يُعَدُّ مِنْ الصَّعْب الْمُمْتَنِع ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ ، إِذْ مَعْنَاهُ لَا يَكْمُل إِيمَان أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ فِي الْإِسْلَام مِثْل مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ، وَالْقِيَام بِذَلِكَ يَحْصُل بِأَنْ يُحِبّ لَهُ حُصُول مِثْل ذَلِكَ مِنْ جِهَةٍ لَا يُزَاحِمهُ فِيهَا ، بِحَيْثُ لَا تَنْقُص النِّعْمَة عَلَى أَخِيهِ شَيْئًا مِنْ النِّعْمَة عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ سَهْل عَلَى الْقَلْب السَّلِيم ، إِنَّمَا يَعْسُرُ عَلَى الْقَلْب الدَّغِل . عَافَانَا اللَّه وَإِخْوَانَنَا أَجْمَعِينَ . وَاَللَّه أَعْلَم .

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 5 / ص 202)

( وَالتَّقْطِيرُ فِي بَاطِنِ الْأُذُنِ ) وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الدِّمَاغِ ( وَ ) بَاطِنِ ( الْإِحْلِيلِ ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ مِنْ الذَّكَرِ وَاللَّبَنِ مِنْ الثَّدْيِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الْمَثَانَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ الْحَشَفَةَ أَوْ الْحَلَمَةَ ( مُفْطِرٌ فِي الْأَصَحِّ ) بِنَاءً عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ ، وَهُوَ اعْتِبَارُ كُلِّ مَا يُسَمَّى جَوْفًا ، وَالثَّانِي : لَا ، بِنَاءً عَلَى مُقَابِلِهِ إذْ لَيْسَ فِيهِ قُوَّةُ الْإِحَالَةِ ، وَأُلْحِقَ بِالْجَوْفِ عَلَى الْأَوَّلِ الْحَلْقُ .قَالَ الْإِمَامُ : وَمُجَاوَزَةُ الْحُلْقُومِ ، وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَازُ حَالَةَ الِاسْتِنْجَاءِ فَإِنَّهُ لَوْ أَدْخَلَ طَرَفَ أُصْبُعِهِ دُبُرَهُ بَطَلَ صَوْمُهُ ، وَكَذَا حُكْمُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ وَلَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ أَوْ طَعَنَ غَيْرَهُ بِإِذْنِهِ فَوَصَلَ السِّكِّينُ جَوْفَهُ أَوْ أَدْخَلَ فِي إحْلِيلِهِ أَوْ أُذُنِهِ عُودًا أَوْ نَحْوَهُ فَوَصَلَ إلَى الْبَاطِنِ بَطَلَ صَوْمُهُ .

التقريرات السديدة /451-452

المفطر السادس : وصول عين من منفذ مفتوح الى الجوف
(قوله: وصول عين) خرج به الهواء، فلا يضر وصول هواء الى الجوف وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين فلا يفطر ما وصل منهما الى الجوف. (قوله: منفذ مفتوح) خرج به اذا وصلت العين الى الجوف من منفذ غير مفتوح كالدهن ونحوه بتشرب المسام. وكل المنافذ مفتوحة في مذهب الإمام الشافعي الا العين، وكذلك الأذن عند الإمام الغزالي
Posted by Uswah On 12:50 PM 1 comment READ FULL POST
Menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, haram hukumnya wanita haid membaca Al-Qur`an. Imam Malik membolehkan membaca beberapa ayat. Sedangkan menurut Imam Dawud az-Zahiri, boleh wanita haid membaca al-Quran (ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hlm. 18)

Mengapa timbul perbedaan pendapat? Sebab para ulama berbeda dalam menilai hadis dalam masalah ini. Nabi saw. bersabda,”Tidaklah boleh orang junub dan juga wanita haid membaca sedikit pun dari al-Quran.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sebagian ulama menganggap hadis ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah (alasan) (Kifayatul Akhyar, I/77-79; Subulus Salam, I/88). Sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadis itu bukan hadis dhaif.

Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat yang mengharamkan wanita haid membaca al-Quran. Sebab meskipun sebagian ulama melemahkan hadis di atas, namun hadis tersebut dianggap hasan (cukup baik) oleh Imam as-Suyuthi, sehingga layak menjadi dalil (As-Suyuthi, al-Jami’ ash-Shaghir, hlm. 205). Namun, yang diharamkan adalah jika wanita haid itu semata berniat membaca (qira`ah), sebagai amal ibadah. Jika, dia tidak meniatkannya sebagai bacaan ibadah, boleh hukumnya membaca al-Quran. Misalnya, membaca Al-Quran dengan niat berdzikir, memberi nasehat atau berdakwah, menceritakan kisah, atau menghafal ayat. (as-Sayyid al-Bakri, I’anatuth Thalibin, I/69). Hal ini sesuai hadits Nabi,”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya.”

Tentang wanita yang sedang haid masuk masjid, jumhur ulama, yakni Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sepakat wanita yang haid tidak boleh berdiam di dalam masjid. Namun Imam Dawud Az-Zahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid (ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hlm. 17)

Akar perbedaan pendapat itu karena para ulama berbeda pandangan mengenai hadis Nabi saw. :

لاَ أُحِـلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ لِجُـنُبٍ

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR Abu Dawud [232]).
Jumhur ulama menganggap hadis ini sahih atau hasan, sehingga mengamalkannya dengan mengharamkan wanita haid masuk dan berdiam di masjid. Namun ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai hadis yang layak saebagai hujjah. Karenanya mereka tidak mengamalkannya.

Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, karena hadis di atas sesungguhnya adalah hadis yang layak menjadi hujjah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. (Subulus Salam, I/92). Menurut Ibn al-Qaththan, hadis ini hasan (Kifayatul Akhyar, I/80).

Kemudian tentang rambut rontok dan mandi wajib. Dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut, termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39; I’natuth Thalibin, I/75). Dalilnya adalah hadis Nabi saw.,”Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka.” (HR Abu Dawud). Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok sebelum mandi wajib. Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang diterangkan di atas atau yang ada di catatan kami tentang rambut rontok bagi orang yang haid. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadis, atau berbeda dalam memahami pengertian hadis.
Posted by Uswah On 12:48 PM No comments READ FULL POST
Ada seseorang wanita ingin masuk thoriqoh dan ingin segera mendapat bimbingan berdzikir dan membersihkan hati, akan tetapi ia sedang dalam keadaan masih haid.

Pertanyaan :

Sahkah baiat yang dilakukan oleh perempuan yang sedang haid dan bagaimana hukumnya?

Jawab:

Seorang wanita yang sedang haid boleh berbaiat dan sah baiatnya. Akan tetapi yang bersangutan tidak boleh mengikuti membaca Al-Qur'an, termasuk al-Fatihah. Demikian juga tidak diperkenankan melaksanakan dzikir thoriqoh yang memang dipersyaratkan suci dari hadats.

ومأخده :

إعانة الطالبين ( الجزء الأول , ص /69 ) ونصه :

والحاصل أنه إن قصد القرأن وحده أوقصده مع غيره كالذكرونحوه فتحرم فيهما.وان قصد الذكر وحده اوالدعاء اوالتبرك اوالتحفظ اواطلق فلاتحرم لأنه مع وجود قرينة لايكون قرأنا إلا بالقصد ولو بما لايوجد نظمه في غير القرأن كسورة الإخلاص.
Posted by Uswah On 12:48 PM No comments READ FULL POST
Dalam madzhab Imam al-Syafi'i, ada tiga tempat disunnahkan membaca qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat witir di pertengahan bulan Ramadhan, dan terakhir pada shalat subuh.

Tentang kesunnahan qunut subuh ditegaskan oleh kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antara ulama salaf yang mensunnahkannya adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra' bin Azib —radhiyallahu 'anhum. (Al-Majmu', juz I, hal 504).

Dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi saw:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْـنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْـيَا (رواه أحمد، 12196)

"Diriwayatkan dan Anas bin Malik ra., "Beliau berkata, "Rasulullah saw. senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat. "(HR. Ahmad [12196]).

Pakar hadits al-'Allamah Muhammad bin 'Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di-shahih-kan oleh segolongan pakar yang banyak hafal hadits. Di antara orang yang menyatakan ke-shahih-an hadits ini adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang shahih. (Al-Futuhat al-Rabbaniyyah 'ala al-Adzkar al-Nawawiyyah,juz II, hal. 268).

Sedangkan redaksi doa qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW, terjemahannya kurang lebih sbb.:


"Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang Engkau berikan pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau Dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau maha suci dan maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu." (HR. al-Nasa'i [1725], Abu Dawud [1214], al-Timidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih).

Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak melakukan qunut, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang qunut. Karena dalam kaidah disebutkan "al-mutsbit muqaddam 'ala an-nafi" (yang mengatakan ada didahulukan dari yang mengatakan tidak ada).
Posted by Uswah On 12:47 PM No comments READ FULL POST
Sekarang buku-buku misalnya, wirid-wirid, do’a-do’a ijazah, bahkan amalan thoriqoh telah dibukukan dan telah dipasarkan secara bebas, sehingga bisa dibaca dan diamalkan oleh kaum muslimin.

Pertanyaan:
a. Bolehkah mengamalkan amalan dari membaca buku tersebut tanpa meminta izin Guru Mursyid (jika termasuk amalan thariqiyah} atau meminta ijazah secara lisan dari pengarangnya?
b. Apakah dengan membeli buku tersebut berarti sudah mendapat izin?
c. Sejauh mana manfaatnya mengamalkan hanya dengan berdasarkan membaca buku tersebut?
Jawab :
a. Jika amalan tersebut adalah amalan thoriqoh, maka harus mendapat izin dan talqin dari mursyid.Namun jika amalan selain thoriqoh tidak perlu minta izin bagi orang yang punya keahlian tentang amalan tersebut.
b. Kalau amalan thoriqoh, meski sudah membeli belum dapat dikategorikan untuk mengamalkan.
c. Hanya mendapat pahala dzikir, dan tidak mendapat asror-asrornya.
ومأخذه :
(1) جامع الأصول ( ص /31 ) ونصه :
واما التلقيين و سنده فلما كانت الصحبة من لو ازمه وشروطه وكان الإنتساب إلى الشيخ إنما يحصل بالتلقين والتعليم من شيخ ماذون إجازته صحيحة مسنتدة إلى شيخ صاحب الطريق وهوالى النبي صلى الله عليه وسلم وكان الذكر لايفيد فائدة تامة إلا بالتلقين والإذن بل جعله الأكثرشرطا وكان الشيخ هو الأب في الدين و هو مقدم علي الأب في النسب كما قال بعضهم:
تسب اقرب في شرح الهوى * بيننا من نسب من أبوي
وكان السالك لابد له من مرشد حسي كالشيخ أومرشد معنوي كالإلهام وحسن التفقه في الكتاب والسنة واجماع الأمة مع التيقظ والإعتباروالتفكر بمساعدة التوفيق واللطف والعناية أو يغنيه الله تعالى عن ذلك كله بمنح فضله يجذبه بها فيصل من غير مشقة وجب ذكر الأسانيد في كل الطرق الى الرسول عليه السلام. إهـ وانظر الى : المفاخر العالية لأحمد بن محمد بن عياد الشافعى الشاذلى ( ص /171 )
(2) خزينة الأسرار( ص/16 ) ونصه :
أخرج الدارمي عن على ابن ابى طالب رضى الله عنه أنه قال: يا حملة العلم اعملوا به فإن العالم من عمل بما علم ووافق علمه وقال الشيخ ابو على الدقاق: لو كان رجلا يوحى إليه ولم يكن له شيخ لا يجيء منه شيئ من الأسرار.
وقال الشاعر:
من يأخذ العلم من شيخ مشافهة *
يكن عن الزيغ والتصحيف فى حرم
من يكن آخذا للعلم من صحف *
فعلمه من أهل العلم كالعدم. إهـ
(كذا فى الفيوضات الربانية فى مقرررات المؤتمرات والمشاورات لجمعية أهل الطريقة المعتبرة النهضية ص: 74, الجامع كياهى عزيز مشهورى الحاج )
(3) كفاية الاتقياء ومنهاج الأصفياء على هداية الأذكياء ( ص/47-48 ) ونصه :
(تنبه) قد علم مما تقررأنه لابد للمريد من ذكروورد يواظب عليه لأن الذكر يكون كالمصباح في يده يستضيءبه وتحصل الواردات في قلبه بقدر ذكره وورده قال سيدي الشيخ عبدالرحمن السقاف من لا له ورد فهو قرد ومن ليس له اذكار فليس بذكر ومن لا يطالع الإحياء ليس له حياة ومن لم يقرأ المهذب ماعرف المذهب ومن لا له ادب فهو دب ويتخذ المريد ما يأمره به شيخه من الاذكار وإذافقد الشيخ المرشد فالأذكار النبوية الواردة عن النبي صلي الله عليه وسلم أفضل من غيرها ويكفي منها الورد اللطيف للقطب الحداد فإن الأذكار التي فيه هي أمهات الأذكار المأثورة وكذا يكفيه تلاوة القرأن والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وذكر العلامة سيدي عبد الرحمن بن مصطفى العيدروس نزيل مصر في شرحه صلاة سيدي أحمد البدوي في كتابه المسمى مراة الشموس في مناقب ال العيدروس أنه يعدم المربون في اخر الزمان ويصير ما يوصل إلى الله إلا الصلاة على النبى صلى الله عليه وسلم مناما ويقظة وأن جميع الأعمال منها المقبول ومنها المردود إلا الصلاة على النبى صلى لله عليه وسلم فأنها مقطوع بقبولها إكراما له صلى الله عليه وسلم وحكى اتفاق العلماء على ذلك.
(4) قرة العين بفتاوى علماء الحرمين (ص /326 ) ونصه :
(ماقولكم) دام فضلكم في قراءة القرأن والأحادث كصحيح البخاري ومسلم والصلوات كدلائل الخيرات والأدعية المأثورة إذاكان ذلك مضبوطا بالقلم من غير سند من أحد ولا اذن ولا نقل وأن يعمل بما فهم وبفهم غيره ويعمل بظهور المعنى أوبتفهيم الشارح ويترك مالم يفهمه فهل يجوز ذلك أولا الا في كتب الفقه أو لايجوزذلك كله الا بسند وإذن ونقل من شيخ افتونا (الجواب) أما القرآن فلاتجوز تلاوته بغير تلقين من عارف متلق لأمرين أحدهما حرمة اللحن فيه لقوله تعالى قرآنا عربيا غير ذى عوج والثانى فريضة تجويده الثابتة بالكتاب وهوقوله تعالى ورتل القرأن ترتيلا- الى أن قال - واما الأحاديث والصلوات كدلائل الخيراتوالأدعية المأثورة فمن رأى ان اللحن فيها يقتضى الكذب فى نسبتها معه للنبي صلى الله عليه وسلم أو لمن أثرت عنه والكذب من الكبائر سيما على النبي صلى الله عليه وسلم يتوقف جواز قراءتها بلا تلقين على أحد أمرين أحدهما كون النسخة صحيحة مضبوطة يضبط عارف العربية أو متلق لها من عارف وثانيهما كون القارئ ذكيافطنا متقنا للعربية ومع هذا فقرآتها بالتلقي ممن ثبت تلقيه بالسند أدعى لحصول بركة المشاييخ ونفحاتهم وأسلم من أن يحوم حول حمى الكذب عليه صلى الله عليه وسلم أو على من أثر عنه ذلك فيوشك أن يواقعه فيدخل تحت وعيده وأما العمل بما فهم وتفهيمه للغير فمحل جوازه في القرآن وخلافه اذا كان اللفظ ظاهرالدلالة عليه وهو معلوم الصحة لكل احد لم يخالف أصلا من الأصول الشرعية المتطهرة ومع هذا فالفهم والتفهيم من المتلقى و الواقف على الأصول الشرعية المتطهرة اسلم لكونهما حينئذ رمية من رام واما كتب الفقه فمدار جواز قراءتها والعمل بما يفهم منها وتفهيمه للغير على فطنة القارئ والعامل اووضوح العبارة ومع هذا فكون القارئ والعامل متلقيا اولى واسلم والله أعلم
(5) حاشية العطار( الجزء الثانى, ص/202 ) ونصه :
(خاتمة مهمة) قال ابن برهان في الأوسط ذهب الفقهاء كافة الى أنه لايتوقف العمل بالحديث على سماعه بل اذا صح عنده السنة جاز له العمل بها وان لم يسمع وحكى الأستاذ ابو اسحاق الإسفرايينى الإجماع على جواز النقل من الكتب المعتمدة ولايشترط اتصال السند الى مصنفها وذلك شامل لكتب الأحاديث والفقه وقال الطبراني من وجد حديثا فى كتاب صحيح جاز له ان يرويه ويحتج به وقال قوم من أصحاب الحديث لايجوز له ان يرويه لأنه لم يسمعه وهذا غلط وكذا حكاه امام الحرمين في البرهان عن بعض المحدثين وقال هم عصبة لامبالاة بهم اه- وكتب الشيخ عزالدين عبد السلام عن سؤال كتبه اليه ابو محمد عبد الحميد واما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوقة بها فقداتفق العلماء في هذا العصرعلى جواز الاعتماد عليها والاستناد اليها لأن الثقة قد حصلت بها كما تحصل بالرواية وبعد التدليس ومن اعتقد ان الناس قد اتفقوا على الخطأ في ذلك فهو اولى بالخطأ منهم ولولا جواز الاعتماد على ذلك لتعطل كثير من المصالح المتعلقة بها وقد رجع الشارع الى قول الأطباء في صور وليست كتبهم ماخوذة فى الأصل الاعن قوم كفار ولكن لما بعد التدليس فيها اعتمد عليها كما اعتمد في اللغة على أشعار العرب وهم كفار لبعد التدليس قال وكتب الحديث أولى بذلك من كتب الفقه وغيرها لاعتمادهم بضبط النسخ وتحريرها فمن قال ان شرط التخريج من كتاب يتوقف على اتصال السند اليه فقدخرق الاجماع وغاية المخرج ان ينقل الحديث من اصل موثوق بصحته وينسبه الى من رواه ويتكلم على علته وغربته وفقهه قال وليس ناقل الاجماع مشهورا بالعلم مثل اشتهار هؤلاء الأئمة بل نص الشافعي في الرسالة على أنه يجوز ان يحدث بالخبر وان لم يعلم أنه سمعه اهـ
(6) اسعاد الرفيق (الجزء الثانى , ص/ 90-91) ونصه :
(وفى التحفة تنبيه) ما افهمه كلامه من جواز النقل من الكتب المعتمدة ونسبته لمؤلفها مجمع عليه وان لم يتصل سند الناقل لمؤلفها: نعم النقل من نسخةكتاب لايجوز الاان وثق بصحتها او تعددت تعددا يغلب على الظن معه صحتها او رأى لفظها منتظما وهو خبير فطن يدرك السقط والتحريف فان انتفى ذلك قال وجدت او نحوه وجوازاعتماد المفتى ما يراه فى كتاب معتمد فيه تفصيل هو ان الكتب المتقدمة على الشيخين لايعتمد شيئ الا بعد مزيد الفحص والتحرى حتى يغلب على الظن أنه المذهب ولايفتى بتتابع كتب متعددة على حكم واحد فان هذه الكثيرة قد تنتهى الى واحد: هذا كله فيما لم يتعرض له الشيخان ولاأحدهما والا فالمعتمد ما اتفقا عليه اى مالم يجمع عليه متعقبو كلاهما على أنه سهو فان اختلفا فالنووى فان وجد للرافعى ترجيح دونه فهو اهـ
(7) الإتقان ( الجزء الأول , ص/ 105 ) ونصه :
الفائدة الثانية 1312 الإجازة من الشيخ غير شرط التصدى للإقراء والافادة فمن علم من نفسه الأهلية جاز له ذلك ولو لم يجزه احد وعلى ذلك السلف الأولون والصدر الصالح وكذلك فى كل علم وفي الإقراء والإفتاء خلافا لما يتوهمه الأغبياء من اعتقاد كونها شرطا وانما اصطلح الناس على الإجازة لأن أهليةالشخص لايعلمها غالبا من يريد الاخذ عنه من المبتدئين ونحوهم لقصور مقاصدهم عن ذلك والبحث عن الاهلية قبل الأخذ شرط فجعلت الاجازة كالشهادة من الشيخ للمجاز بالأهلية
(8) الفتاوى الحديثية ( ص/77 ) ونصه :
ثم الكيفية المحصلة لهذا الارتباط تختلف الشيخ فيها- الى ان قال- حتى قيل الطرق الى الله بعدد انفاس الخلائق وليتعين على الموفق ايضا ان لايدخل تحت حيطة احد الابعدان يقهره حاله او يعلم منه الاحاطة بعلمي الشريعة والحقيقة اهـ
(9) الأنوار القدسية ( ص/ 26 ) ونصه :
وأماثمرة التلقين الخاصة الذى هو تلقين السلوك بعد الدخول في سلسلة القوم فصورته ان الشيخ يتوجه الى الله تعالى ويفرغ على المريد من قوله لااله الاالله من جميع ما قسم له من علوم الشريعة المطهرة اهـ
Posted by Uswah On 12:45 PM 4 comments READ FULL POST
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan NAHDLATUL ULAMA'

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Posted by Uswah On 12:40 PM No comments READ FULL POST
Nadzar secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan baik atau buruk. Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu. Nadzar hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa sunnah) atau fardhu kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, dll), sehingga tidak sah nadzar pada ibadah fardhu ‘ain (seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau yang bukan ibadah, baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh (seperti puasa dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram (seperti minum khomr, berjudi, dll).

Nadzar terbagi menjadi dua :

1. Nadzar lajaj, yaitu : nadzar yang berupa anjuran pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu, atau pencegahan dari melakukan sesuatu atau karena marah dengan mewajibkan pada dirinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya : pernyataan “jika aku berbicara dengan Zaid, maka aku akan berpuasa satu hari”, dalam pernyataannya “jika aku berbicara dengan Zaid” bisa karena didasari marah kepadanya, atau ingin mencegah dirinya dari berbicara dengannya atau hanya karena ingin mendorong dirinya untuk berpuasa.

2. Nadzar tabarrur, yaitu : nadzar yang tidak digantungkan dengan sesuatu apapun atau digantungkan dengan sesuatu yang disukai. Misalnya pertama : “aku nadzar puasa hari senin dan kamis” , misal kedua : “ jika aku sembuh dari penyakitku, maka aku akan bersedekah”

Syarat-syarat nadzir (orang yang nadzar) :

- Beragama islam (khusus untuk nadzar tabarrur, sedangkan nadzar lajaj tidak disyaratkan muslim).

- Atas kehendak sendiri (bukan terpaksa).

- Orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal ).

- Memungkinkan untuk melaksanakan nadzarnya.

Maka tidak sah nadzar anak kecil, orang gila, dalam keadaan dipaksa, melakukan perkara yang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya seperti nadzar puasa bagi orang yang sakit parah dan nadzar orang kafir (khusus nadzar tabarrur)

Nadzar wajib untuk dilakukan dan bagi orang yang meninggalkan : jika berupa nadzar lajaj, si nadzir boleh memilih antara mengerjakan apa yang dinadzari atau membayar kaffaroh yamin yaitu : mengerjakan salah satu dari tiga pilihan berikut : membebaskan budak muslim, memberi makan 10 orang miskin setiap orang satu mud (± 7,5 ons) atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin. Namun jika tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga pilihan di atas, maka wajib puasa tiga hari.

Adapun jika nadzar tabarrur, maka wajib melaksanakan apa yang telah dinadzari (tanpa ada pilihan mengerjakan kaffaroh yamin).

الياقوت النفيس /214-217

النذر لغة : الوعد بخير او شرّ، وشرعا : التزام قربة لم تتعين بصيغة
اقسام النذر اثنان : نذر لجاج ، ونذر تبرر. فالأول : هو الحث او المنع او تحقيق الخبر غضبا بالتزام قربة, والثاني : هو التزام قربة بلا تعليق او بتعليق بمرغوب فيه ويسمى نذر المجازاة ايضا.
حكم نذر اللجاج : تخيير الناذر بين ما التزمه وكفارة اليمين، وحكم نذر التبرر : تعين ما التزمه الناذر.
شروط الناذر اربعة : الإسلام في نذر التبرر، والإختيار ، ونفوذ التصرف فيما ينذره، وامكان فعله للمنذور.

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 18 / ص 456)

( وَهُوَ ) أَيْ النَّذْرُ ( ضَرْبَانِ ) أَحَدُهُمَا : ( نَذْرُ لَجَاجٍ ) بِفَتْحِ أَوَّلِهِ بِخَطِّهِ ، وَهُوَ التَّمَادِي فِي الْخُصُومَةِ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِوُقُوعِهِ حَالَ الْغَضَبِ ، وَيُقَالُ لَهُ يَمِينُ اللَّجَاجِ ، وَالْغَضَبِ وَيَمِينُ الْغَلَقِ ، وَنَذْرُ الْغَلَقِ بِفَتْحِ الْغَيْنِ وَاللَّامِ ، وَالْمُرَادُ بِهِ مَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْيَمِينِ بِأَنْ يَقْصِدَ النَّاذِرُ مَنْعَ نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثُّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقُ خَبَرًا أَوْ غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ ( كَإِنْ كَلَّمْتُهُ ) أَيْ زَيْدًا مَثَلًا ، أَوْ إنْ لَمْ أُكَلِّمْهُ ، أَوْ إنْ لَمْ يَكُنْ الْأَمْرُ كَمَا قُلْته ( فَلِلَّهِ عَلَيَّ ) أَوْ فَعَلَيَّ ( عِتْقٌ أَوْ صَوْمٌ ) أَوْ نَحْوُهُ كَصَدَقَةٍ وَحَجٍّ وَصَلَاةٍ ( وَفِيهِ ) عِنْدَ وُجُودِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ ( كَفَّارَةُ يَمِينٍ ) لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ ، وَلَا كَفَّارَةَ فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ قَطْعًا فَتَعَيَّنَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ اللَّجَاجُ ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ وَحَفْصَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ( وَفِي قَوْلٍ ) يَجِبُ عَلَى النَّاذِرِ فِي ذَلِكَ ( مَا الْتَزَمَ ) لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { مَنْ نَذَرَ وَسَمَّى فَعَلَيْهِ مَا سَمَّى } وَلِأَنَّهُ الْتَزَمَ عِبَادَةً عِنْدَ مُقَابَلَةِ شَرْطٍ فَتَلْزَمُهُ عِنْدَ وُجُودِهِ ( وَفِي قَوْلٍ أَيُّهُمَا ) أَيْ الْأَمْرَيْنِ ( شَاءَ ) أَيْ النَّاذِرُ فَيَخْتَارُ وَاحِدًا مِنْهُمَا مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى قَوْلِهِ اخْتَرْت ، حَتَّى لَوْ اخْتَارَ مُعَيَّنًا مِنْهُمَا لَمْ يَتَعَيَّنْ وَلَهُ الْعُدُولُ إلَى غَيْرِهِ ( قُلْت ) هَذَا ( الثَّالِثُ ) كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ ( أَظْهَرُ ، وَرَجَّحَهُ الْعِرَاقِيُّونَ ) بَلْ لَمْ يُورِدْ أَبُو الطَّيِّبِ مِنْهُمْ غَيْرَهُ ( وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ) لِأَنَّهُ يُشْبِهُ النَّذْرَ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ الْتِزَامُ قُرْبَةٍ ، وَالْيَمِينُ مِنْ حَيْثُ الْمَنْعُ ، وَلَا سَبِيلَ إلَى الْجَمْعِ بَيْنَ مُوجِبَيْهِمَا وَلَا إلَى تَعْطِيلِهِمَا فَوَجَبَ التَّخْيِيرُ ….. ( وَ ) الضَّرْبُ الثَّانِي ( نَذْرُ تَبَرُّرٍ ) وَهُوَ تَفَعُّلٌ ، مِنْ الْبِرِّ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّ النَّاذِرَ طَلَبَ بِهِ الْبِرَّ وَالتَّقَرُّبَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى ، وَهُوَ نَوْعَانِ كَمَا فِي الْمَتْنِ . أَحَدُهُمَا : نَذْرُ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ الْمُعَلَّقُ بِشَيْءٍ ( بِأَنْ يَلْتَزِمَ ) النَّاذِرُ ( قُرْبَةً إنْ حَدَثَتْ ) لَهُ ( نِعْمَةٌ أَوْ ذَهَبَتْ ) عَنْهُ ( نِقْمَةٌ كَإِنْ شُفِيَ مَرِيضِي ) أَوْ ذَهَبَ عَنِّي كَذَا ( فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَوْ فَعَلَيَّ كَذَا ) مِنْ عِتْقٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ نَحْوِهِ ( فَيَلْزَمُهُ ذَلِكَ إذَا حَصَلَ الْمُعَلَّقُ عَلَيْهِ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إذَا عَاهَدْتُمْ } وَقَدْ ذَمَّ اللَّهُ أَقْوَامًا عَاهَدُوا وَلَمْ يُوفُوا ، فَقَالَ : { وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ } الْآيَةَ ، وَلِلْحَدِيثِ الْمَارِّ { مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ } .
تَنْبِيهٌ : أَطْلَقَ الْمُصَنِّفُ النِّعْمَةَ .وَخَصَّصَهَا الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ بِمَا يَحْصُلُ عَلَى نُذُورٍ ، فَلَا يَصِحُّ فِي النِّعَمِ الْمُعْتَادَةِ كَمَا لَا يُسْتَحَبُّ سُجُودُ الشُّكْرِ لَهَا .قَالَ الْإِمَامُ : وَوَافَقَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ ، لَكِنَّ الْقَاضِيَ الْحُسَيْنَ طَرَدَهُ فِي كُلِّ مُبَاحٍ وَهُوَ أَفْقَهُ ا هـ .وَخَرَجَ بِالْحُدُوثِ اسْتِمْرَارُ النِّعْمَةِ وَهُوَ قِيَاسُ سُجُودِ الشُّكْرِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ ، وَهَذَا يُؤَيِّدُ مَا قَالَهُ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ ، وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ الْمَنْذُورِ عَلَى حُصُولِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ إنْ كَانَ مَالِيًّا كَمَا قَالَاهُ فِي الْبَابِ الثَّانِي مِنْ أَبْوَابِ الْأَيْمَانِ ، وَإِنْ كَانَا صَحَّحَا عَدَمَ الْجَوَازِ فِي بَابِ تَعْجِيلِ الزَّكَاةِ .فَرْعٌ : لَوْ نَذَرَ شَيْئًا إنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضَهُ فَشُفِيَ ….ثُمَّ شَرَعَ فِي النَّوْعِ الثَّانِي مِنْ الضَّرْبِ الثَّانِي بِقَوْلِهِ ( وَإِنْ لَمْ يُعَلِّقْهُ ) النَّاذِرُ ( بِشَيْءٍ كَلِلَّهِ ) أَيْ كَقَوْلِهِ ابْتِدَاءً لِلَّهِ ( عَلَيَّ صَوْمٌ ) أَوْ حَجٌّ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ ( لَزِمَهُ ) مَا الْتَزَمَهُ ( فِي الْأَظْهَرِ ) لِعُمُومِ الْأَدِلَّةِ الْمُتَقَدِّمَةِ ، وَالثَّانِي لَا ، لِعَدَمِ الْعِوَضِ …فَائِدَةٌ : الصِّيغَةُ إنْ احْتَمَلَتْ نَذْرَ اللَّجَاجِ وَنَذْرَ التَّبَرُّعِ رَجَعَ فِيهَا إلَى قَصْدِ النَّاذِرِ ، فَالْمَرْغُوبُ فِيهِ تَبَرُّرٌ وَالْمَرْغُوبُ عَنْهُ لَجَاجٌ ، وَضَبَطُوا ذَلِكَ بِأَنَّ الْفِعْلَ إمَّا طَاعَةٌ أَوْ مَعْصِيَةٌ أَوْ مُبَاحٌ ، وَالِالْتِزَامُ فِي كُلٍّ مِنْهَا تَارَةً يَتَعَلَّقُ بِالْإِثْبَاتِ ، وَتَارَةً بِالنَّفْيِ بِالْإِثْبَاتِ فِي الطَّاعَةِ كَقَوْلِهِ : إنْ صَلَّيْت فَعَلَيَّ كَذَا يُحْتَمَلُ التَّبَرُّرُ بِأَنْ يُرِيدَ إنْ وَفَّقَنِي اللَّهُ لِلصَّلَاةِ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ بِأَنْ يُقَالَ لَهُ : صَلِّ فَيَقُولَ : لَا أُصَلِّي وَإِنْ صَلَّيْت فَعَلَيَّ كَذَا ، وَالنَّفْيُ فِي الطَّاعَةِ كَقَوْلِهِ : وَقَدْ مُنِعَ مِنْ الصَّلَاةِ إنْ لَمْ أُصَلِّ فَعَلَيَّ كَذَا لَا يُتَصَوَّرُ إلَّا لَجَاجًا فَإِنَّهُ لَا يَبِرُّ فِي تَرْكِ الطَّاعَةِ ، وَالْإِثْبَاتِ فِي الْمَعْصِيَةِ كَقَوْلِهِ وَقَدْ أُمِرَ بِشُرْبِ الْخَمْرِ : إنْ شَرِبْت الْخَمْرَ فَعَلَيَّ كَذَا يُتَصَوَّرُ لَجَاجًا فَقَطْ ، وَالنَّفْيُ فِي الْمَعْصِيَةِ كَقَوْلِهِ : إنْ لَمْ أَشْرَبْ الْخَمْرَ فَعَلَيَّ كَذَا يَحْتَمِلُ التَّبَرُّرَ بِأَنْ يُرِيدَ إنْ عَصَمَنِي اللَّهُ مِنْ الشُّرْبِ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ بِأَنْ يُمْنَعَ مِنْ الشُّرْبِ ، فَيَقُولَ : إنْ لَمْ أَشْرَبْ فَعَلَيَّ كَذَا يُرِيدُ إنْ أَعَانَنِي اللَّهُ عَلَى كَسْرِ شَهْوَتِي فَعَلَيَّ كَذَا ، وَفِي الْإِثْبَاتِ كَقَوْلِهِ : إنْ أَكَلْت كَذَا فَعَلَيَّ كَذَا يُرِيدُ : إنْ يَسَّرَ اللَّهُ لِي فَعَلَيَّ كَذَا ، وَاللَّجَاجُ فِي النَّفْيِ كَقَوْلِهِ : وَقَدْ مُنِعَ مِنْ أَكْلِ الْخُبْزِ إنْ لَمْ آكُلْهُ فَعَلَيَّ كَذَا ، وَفِي الْإِثْبَاتِ كَقَوْلِهِ وَقَدْ أُمِرَ بِأَكْلِهِ : إنْ أَكَلْته فَعَلَيَّ كَذَا .

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 18 / ص 321)

( يَتَخَيَّرُ ) الْمُكَفِّرُ ( فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ بَيْنَ عِتْقٍ ) فِيهَا ( كَالظِّهَارِ ) أَيْ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ كَفَّارَتُهُ بِالصِّفَةِ السَّابِقَةِ فِي بَابِهِ مِنْ كَوْنِهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً بِلَا عَيْبٍ يُخِلُّ بِعَمَلٍ أَوْ كَسْبٍ ( وَ ) بَيْنَ ( إطْعَامِ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدُّ حَبٍّ ) أَوْ غَيْرِهِ ( مِنْ غَالِبِ قُوتِ بَلَدِهِ ) كَالْفِطْرَةِ كَمَا مَرَّ فِي كِتَابِ الْكَفَّارَاتِ ، وَصَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ هُنَا ( وَ ) بَيْنَ ( كِسْوَتِهِمْ بِمَا يُسَمَّى كِسْوَةً ) مِمَّا يُعْتَادُ لُبْسُهُ ( كَقَمِيصٍ ، أَوْ عِمَامَةٍ ؛ أَوْ إزَارٍ )…. ( فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ) كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ( الثَّلَاثَةِ لَزِمَهُ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : ( فَكَفَّارَتُهُ إطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ ) . تَنْبِيهٌ : الْمُرَادُ بِالْعَجْزِ أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْمَالِ الَّذِي يَصْرِفُهُ فِي الْكَفَّارَةِ كَمَنْ يَجِدُ كِفَايَتَهُ وَكِفَايَةَ مَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ فَقَطْ ، وَلَا يَجِدُ مَا يَفْضُلُ عَنْ ذَلِكَ . قَالَا : وَمَنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ مِنْ الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَاتِ لَهُ أَنْ يُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ ؛ لِأَنَّهُ فَقِيرٌ فِي الْأَخْذِ ، فَكَذَا فِي الْإِعْطَاءِ ، وَقَدْ يَمْلِكُ نِصَابًا وَلَا يَفِي دَخْلُهُ بِخَرْجِهِ فَتَلْزَمُهُ الزَّكَاةُ ، وَلَهُ أَخْذُهَا ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْبَابَيْنِ أَنَا لَوْ أَسْقَطْنَا الزَّكَاةَ خَلَا النِّصَابُ عَنْهَا بِلَا بَدَلٍ ، وَالتَّكْفِيرُ بِالْمَالِ لَهُ بَدَلٌ وَهُوَ الصَّوْمُ
Posted by Uswah On 12:40 PM No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Arsip Blog