Selasa, 27 Desember 2011

Salah seorang pemuka kaum Wahabi mengharamkan mengenakan perhiasan emas yang berbentuk lingkaran-lingkaran [al Muhallaq seperti cincin, gelang, atau kalung emas] bagi kaum perempuan [7]. Bahkan ia bersikap sombong kepada ulama dalam hal ini, dengan berkata: “Mereka laki-laki dan kita laki-laki”, dimana para ulama telah bersepakat (Ijma’) tentang kebolehan hal tersebut. Di samping menyalahi kesepakatan ulama ia juga telah menyalahi hadits Rasulullah.

Al-Hafizh al-Baihaqi dalam Sunan[8]-nya, setelah mengutip hadits-hadits dan kesepakatan kaum muslimin tentang kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan, beliau berkata dalam bab yang ia namakan “Bab kutipan hadits-hadits yang menunjukan kebolehannya [perhiasan emas] bagi kaum perempuan”. Di antaranya hadits Abi Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah bersabda: 

الحرير والذهب حرام على دكور أمتي حل لإناثهم

(Sutera dan emas diharamkan bagi kaum laki-laki dari umatku, dan halal bagi kaum perempuan mereka).

Al-Baihaqi berkata: “Hadits-hadits yang jelas ini, juga hadits-hadits yang semakna dengan ini, menunjukan tentang kebolehan berhias dengan emas bagi kaum perempuan. Dan dengan ini kami mengambil dalil akan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya, dimana hadits-hadits yang menunjukan keharamannya telah dihapus”. Pernyataan al-Baihaqi ini jelas membatalkan apa yang dinyatakan oleh al-Albani.

Kesepakatan (Ijma’) ulama ini, juga telah dikutip oleh an-Nawawi dalam kitab Majmu’[9]-nya, ia berkata: “Dan dibolehkan bagi kaum perempuan untuk memakai sutera dan berhias dengan perak dan emas dengan ijma’ [ulama], karena adanya hadits-hadits shahih dalam hal itu”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam syarh Shahih al-Bukhari berkata[10]: “Setelah tetapnya ini, maka larangan cincin emas dan larangan memakainya adalah khusus bagi kaum laki-laki, tidak untuk perempuan. Karena telah ada kesepakatan (ijma’) tentang kebolehan tersebut bagi mereka. Aku katakan: Ibnu Abi Syaibah[11] dari hadits ‘Aisyah telah meriwayatkan bahwa [raja] an-Najasyi memberi hadish kepada Rasulullah berupa perhiasan yang diantaranya cincin dari emas. Kemudian Rasulullah memanggil Umamah, puteri dari puterinya (puteri Zaenab), seraya berkata: “Berhiaslah dengannya!”. Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah ini, juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya[12]. 

Apa yang menjadi ijma’ ulama di atas juga dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, ia berkata[13]: “Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan untuk mengenakan emas dan sutera”.

Juga dikutip oleh Abu Bakr al-Jashash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur’an, pada pasal tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan. Ia berkata[14]: “Hadits-hadits yang datang dari Rasulullah dan para sahabat tentang kebolehan memakai emas bagi kaum perempuan sangat masyhur. Ayat al-Qur’anpun jelas menunjukan kebolehan hal tersebut. Prihal kebolehan memakai perhiasan emas bagi kaum perempuan ini telah berlangsung dari semenjak masa Rasulullah dan sahabat hingga masa kita sekarang ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Termasuk dalam hal ini, adanya hadits-hadits ahad yang tidak dapat dibantah menunjukan hal itu”.

Dalam kitab yang sama al-Jashash berkata[15]: 'Abi al-‘Aliyah dan Mujahid berkata: Dibolehkan bagi kaum perempuan perhiasan emas”.

Setelah keterangan jelas ini, maka apa yang difatwakan al-Albani dalam mengharamkan perhiasan emas bagi kaum perempuan adalah fatwa yang tidak memiliki dasar sama sekali. Fatwa ini menyalahi hadits-hadits nabi serta menyalahi ijma’ ulama. Fatwa sesat al-Albani tidak hanya dalam hal ini, dialah juga orang yang mengharamkan wudlu dengan lebih dari satu mud air, dan mengharamkan mandi dengan lebih dari lima mud air. Artinya menurut madzhab al-Albani ini, mereka yang memakai air lebih dari ukuran tersebut dalam wudlu dan mandinya adalah orang-orang berlaku dosa dan orang orang-orang sesat. Apa yang difatwakan al-Albani semacam ini jelas menjadikan agama Allah sebagai suatu kesulitan, padahal Aallah berfirman:

وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج:78)

(Dan tidaklah [Dia Allah] menjadikan bagi kalian dalam agama dari kesulitan).
___________________________________

[7]. Seperti yang ia sebutkan dalam bukunya berjudul “Adab az-Zafaf”.
[8]. As-Sunan al-Kubra (4/142), lihat pula al-Majmu’ karya an-Nawawi (4/442) dan Fath al-Bari (10/317)
[9]. Lihat (4/442)
[10]. Lihat Fath al-Bari (10/317)
[11]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/194)
[12]. Lihat as-Sunan al-Kubra (4/141)
[13]. Lihat Tafsir al-Qurthubi (16/71-72)
[14]. Ahkam al-Qur’an (3/575)
[15]. Lihat Ahkam al-Qur’an (3/575)
Posted by Uswah On 11:00 AM No comments READ FULL POST

Senin, 26 Desember 2011

Seorang yang junub atau perempuan yang haid sebaiknya tidak memotong kuku, rambut atau anggota tubuh yang lainnya, karena bagian yang terpotong dari badan manusia akan dikembalikan kelak di hari kiamat. Jika anggota yang terpotong dalam keadaan membawa hadats besar, maka akan dikembalikan di hari kiamat menghadap Allah juga membawa hadats besar sebagaimana dikemukakan Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumiddin. [1]
Namun menurut ulama’ lain seperti Imam Bujairomi, anggota tubuh yang dikembalikan di hari kiamat adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan yang telah terpotong sebelumnya, karena anggota badan dikembalikan pada hari kebangkitan adalah anggota tubuh yang ada saat dia mati. [2]
Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghozali di dalam Ihya’ memakai redaksi kalimat “لا ينبغي “. Kalimat ini bisa menunjukkan hukum makruh atau haram (paling tidak dihukumi makruh). [3]
Referensi :
1. Al-Qola’id Al-Khoro’id /I /35-36
2. Ihya’ Ulumiddin /I /401
3. Hasyiah As-Syarwani /I / 284
4. Al-Fawa’id Al-Makkiyah / 54

[1] قلائد الخرائد ص35 – 36
مسألة- 44
من اغتسل ثم نتف شعرة بعد غسلها، قال الماوردي : أو غسل أصلها : لم يجب غسل موضعها، وينبغي غسله، أو قبل غسلها وجب، قال ابن الصباغ : وإن كان قد غسل أصلها فقط، وبه جزم زكريا في ” الأسنى ” وغيره . قال الغزالي : ولا ينبغي أن يزيل شيئا من أجزائه وهو جنب إذ يرد في الأخرة بجنابنته، ويقال : كل شعرة تطالب
بجنابتها .

حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 1 / ص 338)
( فائدة ) : قال في الإحياء لا ينبغي للإنسان أن يزيل شيئا من شعره أو يقص شيئا من ظفره أو يستحد أو يخرج دما أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ سائر أجزائه ترد إليه في الآخرة فيعود جنبا ، ويقال : إن كل عشرة تطالبه بجنابتها انتهى ، وفي عود نحو الدم نظر ، وكذا في غيره لأن العائد هو الأجزاء التي مات عليها إلا نقص نحو عضو فراجعه .

إحياء علوم الدين – (ج 1 / ص 401)
قال ابن عمر: قلت للنبي صلى الله عليه وسلم: أينام أحدنا وهو جنب؟ قال: ” نعم إذا توضأ ” ولكن قد وردت فيه رخصة قالت عائشة رضي الله عنها: ” كان النبي صلى الله عليه وسلم ينام جنباً لم يمس ماء ” ومهما عاد إلى فراشه فليمسح وجه فراشه أو لينفضه، فإنه لا يدري ما حدث عليه بعده، ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب؛ إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً، ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها ومن الآداب أن لا يعزل، بل لا يسرح إلا إلى محل الحرث وهو الرحم، فما من نسمة قدر الله كونها إلا وهي كائنة هكذا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم،

[2] حواشي الشرواني – (ج 1 / ص 284)
قوله: (وأن لا يزيل الخ) عبارة النهاية والخطيب قال في الاحياء لا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج دما أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ سائر أجزائه الخ قوله: (لان أجزاءه الخ) ظاهر هذا الصنيع أن الاجزاء المنفصلة قبل الاغتسال لا يرتفع جنابتها بغسلها سم على حج اه ع ش قوله: (تعود إليه في الآخرة) هذا مبني على أن العود ليس خاصا بالاجزاء الاصلية وفيه خلاف وقال السعد في شرح العقائد النسفية المعاد إنما هو الاجزاء الاصلية الباقية من أول العمر إلى آخره ع ش عبارة البجيرمي فيه نظر لان الذي يرد إليه ما مات عليه لا جميع أظفاره التي قلمها في عمره ولا شعره كذلك فراجعه قليوبي وعبارة المدابغي قوله لان أجزاءه الخ أي الاصلية فقط كاليد المقطوعة بخلاف نحو الشعر والظفر فإنه يعود إليه منفصلا عن بدنه لتبكيته أي توبيخه حيث أمر بأن لا يزيله حالة الجنابة أو نحوها انتهت اه قوله: (ويقال إن كل شعرة الخ) فائدته التوبيخ واللوم يوم القيامة لفاعل ذلك وينبغي أن محل ذلك حيث قصر كأن دخل وقت الصلاة ولم يغتسل وإلا فلا كأن فجأه الموت ع ش .

[3] الفوائد المكية /54
وينبغي الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب اخرى ويحمل على احدهما بالقرينة، وقد يستعمل للجواز والترجيح ولا ينبغي قد تكون للتحريم او الكراهة
Posted by Uswah On 1:41 AM No comments READ FULL POST
Sewaktu duduk di bangku SMA, guru agama saya menerangkan tentang perempuan yang tidak boleh dinikahi, diantaranya saudari sepersusuan dan perempuan yang pernah menyusui kita.
Pertanyaan :
Apabila ada suami (yang punya istri baru melahirkan) menyusu pada istrinya
a. Apakah status istri naik menjadi ibu (dari suaminya sendiri)?
b. Apakah status bapak dan anak menjadi sekaligus saudara sepersusuan?
c. Bagaimana status pernikahannya?
NB . Mohon maaf bila pertanyaan dianggap kurang adab mengingat semakin
kompleksnya masalah saat ini.

Syarat-syarat menyusu yang menjadikan mahram ada 5: [1]
1. Usia anak yang menyusu tidak lebih dari 2 tahun Hijriyah.

Hal ini didasarkan ayat :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah-233)

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Daruqutni dari Sahabat Ibn Abbas Rasulullah SAW bersabda:

لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا كَانَ فِى الْحَوْلَيْنِ

“Tidak ada hukum persusuan kecuali dalam usia kurang dari dua tahun”

2. Air susu berasal dari perempuan yang sudah berumur 9 tahun Hijriyah.
3. Keluarnya susu pada waktu masih hidup.
4. Susu yang diminum sampai ke perut besar atau otak si anak.
5. Masuknya air susu di waktu si anak dalam keadaan hidup dan tidak kurang dari lima kali susuan.

Karenanya, bila seorang lelaki dewasa yang minum susu istrinya hal ini tidak berpengaruh terhadap hukum mahram, dalam arti istrinya tidak menjadi ibu susuan.
Namun bila suaminya adalah seorang bayi yang kurang dari 2 tahun (mungkin ini belum pernah terjadi, namun tetap sah secara syariat) dan memenuhi syarat di atas maka dia menjadi anak susuan, istrinya menjadi ibu rodho’ dan status pernikahannya batal.

Contoh : seorang anak bayi yang belum genap 2 tahun dinikahkan dengan janda yang baru melahirkan. Kemudian istri menyusui suami kecilnya sampai lima kali susuan maka status pernikahannya batal, status istri berubah menjadi ibu rodlo’, mantan suaminya menjadi ayah rodlo’, dan suami kecilnya menjadi anak rodlo’. [2]

Dalil-dalil kitabnya sbb.:

[1] فتح المعين – (ج 3 / ص 329(
(تنبيه) الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض، ولو قطرة، أو مختلطا بغيره – وإن قل – جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا، فإن قطع الرضيع إعراضا وإن لم يشتغل بشئ آخر أو قطعته المرضعة ثم عاد إليه فيهما فورا فرضعتان، أو قطعه لنحو لهو كنوم خفيف وعاد حالا أو طال والثدي بفمه أو تحول ولو بتحويلها من ثدي لآخر أو قطعته لشغل خفيف ثم عادت إليه فلا تعدد في جميع ذلك، وتصير المرضعة أمه، وذو اللبن أباه. وتسري الحرمة من الرضيع إلى أصولهما وفروعهما وحواشيهما نسبا ورضاعا، وإلى فروع الرضيع – لا إلى أصوله وحواشيه – ولو أقر رجل وامرأة قبل العقد أن بينهما أخوة رضاع وأمكن حرم تناكحهما، وإن رجعا عن الاقرار أو بعده فهو باطل، فيفرق بينهما.

روائع البيان /1/271
ما هي مدة الرضاع الموجب للتحريم ذهب جمهور الفقهاء مالك والشاعي واحمد الى ان الرضاعة الذي يتعلق به حكم التحريم ويجري به مجرى النسب بقوله عليه السلام يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب هو ما كان في حولين واستدلوا بقوله تعالى “والوالدات يرضعن اولادهن حولين كاملين” . وبما روي عن ابن عباس رضي الله عنهما “ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا رضاع الا ما كان في حولين “. وذهب ابو حنيفة الى ان مدة الرضاع المحرم سنتان ونصف لقوله تعالى “وحمله وفصاله ثلاثون شهرا”,.
قال العلامة القرطبي “والصحيح الاول لقوله تعالى حولين كاملين “. وهذا يدل على ان الحكم ان لا حكم لمن ارتضع المولود بعد الحولين ولقوله عليه السلام “لا رضاع الا ما كان في حولين”. وهذا الخبر مع الاية والمعنى ينفي رضاعة الكبير وانه لا حرمة له . وقد روي عن عائشة القول به وبه يقول الليس بن سعد انه يرى رضاع الكبير وروي عنه الرجوع عنه.

]2[ روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 3 / ص 275)
ولو كانت تحته كبيرة فطلقها فنكحت صغيراً وأرضعته بلبن المطلق حرمت على المطلق أبداً كما تحرم على الصغير لأنها زوجة أبيه.ولو نكحت صغيراً ففسخت نكاحه بغيبة ثم نكحت آخر فأرضعت الأول بلبن الثاني انفسخ نكاحها وحرمت عليهما أبداً لأن الأول صار ابناً للثاني فهي زوجة ابن الثاني وزوجة أبي الأول. ولو زوج مستولدته بعبده الصغير فأرضعته بلبن السيد حرمت على السيد والصغير معاً أبداً وحكى ابن الحداد أن المزني نقل عن الشافعي أنها لا تحرم على السيد وأن المزني أنكره على الشافعي وعلى ذلك جرى ابن الحداد والأصحاب فجعلوا نقل المزني غلطاً قال الشيخ أبو علي لكن يمكن تخريج ما نقل على قول في العبد الصغير أنه لا يجوز إجباره على النكاح أو على قول في أن أم الولد لا يجوز تزويجها بحال أو على وجه ذكر أنه لا يجوز للسيد تزويج أمته بعبده بحال فإنا إذا لم نصحح النكاح على أحد هذه.الآراء لم تكن زوجة الإبن فلا تحرم على السيد.ولو أرضعته بلبن غير السيد انفسخ نكاحه لأنها أمة ولا تحرم على السيد لأنه لم يصر ابناً له وكذا لو أرضعت المطلقة الصغير الذي نكحته بغير لبن الزوج انفسخ النكاح ولا تحرم هي على المطلِّق.

روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 3 / ص 267)
الباب الأول في أركانه وشروطه أما الأركان فثلاثة.: الأول المرضع وله ثلاثة شروط الأول كونه إمرأة فلبن البهيمة لا يتعلق به تحريم فلو شربه صغيران لم يثبت بينهما أخوة ولا يحرم لبن الرجل أيضاً على الصحيح وقال الكرابيسي يحرم ولبن الخنثى لا يقتضي أنوثته على المذهب فلو ارتضعه صغير توقف في التحريم فإن بان أنثى حرم وإلا فلا. الشرط الثاني كونها حية فلو ارتضع ميتة أو حلب لبنها وهي ميتة لم يتعلق به تحريم كما لا تثبت حرمة المصاهرة بوطء الميتة.ولو حلب لبن حية وأوجر الصبي بعد موتها حرم على الصحيح المنصوص. الشرط الثالث كونها محتملة للولادة فلو ظهر لصغيرة دون تسع سنين لبن لم يحرم وإن كانت بنت تسع وإن لم يحكم ببلوغها لأن احتمال البلوغ قائم والرضاع كالنسب فكفى فيه الإحتمال. سواء كانت المرضعة مزوجة أم بكراً أم بخلافهما وقيل لا يحرم لبن البكر والصحيح الأول ونص عليه في البويطي
Posted by Uswah On 1:40 AM No comments READ FULL POST
Bagaimana tanggapan kita terhadap departemen kesehatan yang sekarang melarang bidan-bidan untuk mengkhitan bayi-bayi perempuan, padahal kita tahu bagaimana pentingnya khitan terlebih untuk wanita , tujuan agar wanita tadi itu tidak menjadi binal! dan langkah2 apa yang akan kita lakukan untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini, dan ini sudah marak dimana2.

JAWABAN:

Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki maupun perempuan yang baligh, berakal, jelas jenis kelaminnya dan memungkinkan untuk khitan. Namun sebagian ulama’ berpendapat wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.

Lelaki pertama yang berkhitan adalah Nabi Ibrohim as dan perempuan pertama adalah Siti Hajar. Dikisahkan Siti Sarah (istri Nabi Ibrohim) bersumpah akan memotong tiga anggota tubuh Siti Hajar ketika tersinggung setelah mengandung Nabi Isma’il. Kemudian Nabi Ibrohim mencarikan jalan keluar untuk melaksanakan sumpahnya dengan melubangi kedua daun telinga Siti Hajar dan mengkhitannya.

Jika ada pelarangan itu benar dari DepKes kepada para bidan untuk mengkhitan perempuan, maka selayaknya MUI badan hukum yang diakui negara hendaknya menegur dan mengeluarkan fatwa tentang kewajiban khitan bagi perempuan. Karena MUI adalah sebagai muhtasib (yang punya wewenang untuk melarang secara resmi) dan kewajiban khitan perkara bukan mujma’ alaih (atas kesepakatan ulama’) berarti tidak ada kewajiban bagi setiap muslim mengingkari perkara yang mukhtalaf fihi.
Dalil-dalil yang menerangkan kewajiban khitan bagi laki-laki dan perempuan sbb.:

شرح سلم التوفيق / 86
(وترك الختان) اي وبعد احتمال الختان في العاقل الواضح كما قاله الفشني والدليل على وجوب الختان قوله تعالى ” ثم اوحينا اليك ان اتيع ملة ابراهيم حنيفا” وكان من ملته الختان…الى قوله…واما الصغيرة والمجنون ومن لا يحتمل الختان والخنثى فلا يجب ختنهم.

هامش اعانة الطالبين /4/ 173-174
(ووجب ختان) للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين لقوله تعالى” ان اتبع ملة ابراهيم” ومنها الختان اختتن وهو ابن ثمانين سنة وقيل واجب على الرجال وسنة للنساء اهـ

فتح الباري لابن حجر – )ج 10 / ص 146)
- قَوْلُهُ : ( أَوَّل مَا اِتَّخَذَ النِّسَاء الْمِنْطَق) بِكَسْرِ الْمِيم وَسُكُون النُّون وَفَتْح الطَّاء هُوَ مَا يُشَدّ بِهِ الْوَسَط ، وَوَقَعَ فِي رِوَايَة اِبْن جُرَيْجٍ النُّطُق بِضَمِّ النُّون وَالطَّاء وَهُوَ جَمْع مِنْطَق ، وَكَانَ السَّبَب فِي ذَلِكَ أَنَّ سَارَةَ كَانَتْ وَهَبَتْ هَاجَرَ لِإِبْرَاهِيم فَحَمَلَتْ مِنْهُ بِإِسْمَاعِيل ، فَلَمَّا وَلَدَتْهُ غَارَتْ مِنْهَا فَحَلَفَتْ لَتَقْطَعَنَّ مِنْهَا ثَلَاثَة أَعْضَاء فَاِتَّخَذَتْ هَاجَر مِنْطَقًا فَشَدَّتْ بِهِ وَسَطهَا وَهَرَبَتْ وَجَرَّتْ ذَيْلهَا لِتُخْفِي أَثَرهَا عَلَى سَارَةَ ، وَيُقَال إِنَّ إِبْرَاهِيم شَفَعَ فِيهَا وَقَالَ لِسَارَةَ : حَلِّلِي يَمِينك بِأَنْ تَثْقُبِي أُذُنَيْهَا وَتَخْفِضِيهَا وَكَانَتْ أَوَّل مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ . وَوَقَعَ فِي رِوَايَة اِبْن عُلَيَّة عِنْد الْإِسْمَاعِيلِيّ ” أَوَّل مَا أَحَدَّتْ الْعَرَب جَرّ الذُّيُول عَنْ أُمّ إِسْمَاعِيل ” وَذَكَرَ الْحَدِيث . وَيُقَال إِنَّ سَارَةَ اِشْتَدَّتْ بِهَا الْغَيْرَة فَخَرَجَ إِبْرَاهِيم بِإِسْمَاعِيل وَأُمّه إِلَى مَكَّة لِذَلِكَ

قال السهيلي : فكانت اول من اختتن من النساء و اول من ثقبت اذنها منهن و اول من طولت ذيلها

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – (ج 26 / ص 350)
( وَالْأَمْرُ ) بِيَدِهِ فَلِسَانِهِ فَقَلْبِهِ وَلَوْ فَاسِقًا ( بِالْمَعْرُوفِ ) أَيْ الْوَاجِبِ ( وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ) أَيْ الْمُحَرَّمِ ، لَكِنَّ مَحَلَّهُ فِي وَاجِبٍ أَوْ حَرَامٍ مُجْمَعٍ عَلَيْهِ ، أَوْ اعْتَقَدَ الْفَاعِلُ تَحْرِيمَهُ بِالنِّسْبَةِ لِغَيْرِ الزَّوْجِ إذْ لَهُ مَنْعُ زَوْجَتِهِ الْحَنَفِيَّةِ مِنْ شُرْبِ النَّبِيذِ مُطْلَقًا حَيْثُ كَانَ شَافِعِيًّا ، وَالْقَاضِي إذْ الْعِبْرَةُ بِاعْتِقَادِهِ كَمَا يَأْتِي وَمُقَلِّدُ مَنْ لَا يَجُوزُ تَقْلِيدُهُ لِكَوْنِهِ مِمَّا يُنْقَضُ فِيهِ قَضَاءُ الْقَاضِي ، وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَى مُعْتَقِدِ التَّحْرِيمِ ، وَإِنْ اعْتَقَدَ الْمُنْكِرُ إبَاحَتَهُ ؛ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ حُرْمَتَهُ بِالنِّسْبَةِ لِفَاعِلِهِ بِاعْتِبَارِ عَقِيدَتِهِ ، وَيَمْتَنِعُ عَلَى عَامِّيٍّ يَجْهَلُ حُكْمَ مَا رَآهُ إنْكَارٌ حَتَّى يُخْبِرَهُ عَالِمٌ بِأَنَّهُ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ أَوْ مُحَرَّمٌ فِي اعْتِقَادِ فَاعِلِهِ ، وَلَا لِعَالِمٍ إنْكَارُ مُخْتَلَفٍ فِيهِ حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ فَاعِلِهِ اعْتِقَادَ تَحْرِيمِهِ لَهُ حَالَةَ ارْتِكَابِهِ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ حِينَئِذٍ قَلَّدَ الْقَائِلَ بِحِلِّهِ أَوْ جَاهِلٌ بِحُرْمَتِهِ ؛ أَمَّا مَنْ ارْتَكَبَ مَا يَرَى إبَاحَتَهُ بِتَقْلِيدٍ صَحِيحٍ فَلَا يَحِلُّ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ لَكِنْ لَوْ نُدِبَ لِلْخُرُوجِ مِنْ الْخِلَافِ بِرِفْقٍ فَحَسَنٌ ، وَإِنَّمَا حَدَّ الشَّافِعِيُّ حَنَفِيًّا شَرِبَ نَبِيذًا يَرَى حِلَّهُ لِضَعْفِ أَدِلَّتِهِ ، وَلِأَنَّ الْعِبْرَةَ بَعْدَ الرَّفْعِ بِعَقِيدَةِ الْمَرْفُوعِ إلَيْهِ فَقَطْ ، وَلَمْ نُرَاعِ ذَلِكَ فِي ذِمِّيٍّ رُفِعَ إلَيْهِ لِمَصْلَحَةِ تَأَلُّفِهِ لِقَبُولِ الْجِزْيَةِ ، هَذَا كُلُّهُ فِي غَيْرِ الْمُحْتَسِبِ ، أَمَّا هُوَ فَيُنْكِرُ وُجُوبًا عَلَى مَنْ أَخَلَّ بِشَيْءٍ مِنْ الشَّعَائِرِ الظَّاهِرَةِ وَلَوْ سُنَّةً كَصَلَاةِ الْعِيدِ وَالْأَذَانِ ، وَيَلْزَمُهُ الْأَمْرُ بِهِمَا ، وَلَكِنْ لَوْ اُحْتِيجَ فِي إنْكَارِ ذَلِكَ لِقِتَالٍ لَمْ يَفْعَلْهُ إلَّا عَلَى أَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ وَلَيْسَ لِأَحَدٍ الْبَحْثُ وَالتَّجْسِيسُ وَاقْتِحَامُ الدُّورِ بِالظُّنُونِ
Posted by Uswah On 1:39 AM 1 comment READ FULL POST
Saya seorang wanita, sudah banyak orang laki-laki yang mau lamar,tapi hati saya selalu menolak karena tidak cocok. di saat saya cocok dengan seseorang, kendalanya ada aja. apa saya harus memaksakan diri untuk menikah dengan orang yang saya tidak cocok?

Pertayaan : Bagaimana hukumnya kalau seorang wanita tidak menikah dan tidak ditaqdirkan Allah untuk menikah sampai akhir hayatnya, sedangkan dia puya kemauan untuk menikah. apa ini merupakan kesalahan wanita itu, apa memang ini kehendak Allah yg hrs diterima dengan ikhlas .

JAWAB :
Kecocokan pasangan hidup bisa dinilai dari segi agama dan fisik. Jika Anda telah cocok dari dua segi tadi, begitu juga calon pasangan Anda, maka itu adalah pasangan terbaik bagi keduanya. Namun jika yang Anda dapati hanya kecocokan agamanya bukan fisiknya, mungkin ada suatu kebaikan yang telah ditetapkan Allah SWT untuk Anda. Oleh karena itu, lebih baik Anda melangsungkan pernikahan dari pada mempertahankan untuk tidak menikah hingga akhir hayat, karena dalam pernikahan ada suatu hikmah yang besar. Pilihlah pasangan yang baik dari segi agama, keturunan dan keluarga serta mempunyai akhlaq yang mulia.

Dan perlu diketahui bahwa untuk lebih memantapkan tentang cocok atau tidaknya sebelum anda memutuskan lakukan dulu istikharah, jadi janganlah kamu memutuskan lebih dulu sebelum dilakukan istikharah. Karena kecintaan bisa timbul setelah seringnya kita bertemu dan mengetahui perilakunya apabila dalam istikharah itu mendapatkan petunjuk baik menurut Allah maka sebaiknya diterima, karena Allah lebih mengetahui akhir dari setiap kehidupan manusia, baik atau tidaknya dan cocok atau tidaknya. Ingat Allah yang menciptakan kita dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dan yang perlu direnungkan adalah sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut:

شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ

“ sejelek-jelek kalian adalah yang tidak mau melaksanakan pernikahan, dan sehina-hinanya mayit-mayit kalian adalah yang tidak pernah menikah (di atas dunia)“

Karena orang yang tidak menikah di dunia pastinya nihil dari doa anak-anak yang sholeh. Oleh karena itu langsungkan pernikahan dengan orang-orang yang tepat utamanya dari segi agama, keturunan dan keluarganya.
Posted by Uswah On 1:38 AM 2 comments READ FULL POST
Menghilangkan rambut secara permanen pada anggota badan diperinci sebagai berikut :

• Rambut yang dilarang dibuang seperti bulu mata atau alis hukumnya haram karena bisa merubah penciptaan Allah. [1]

• Rambut yang sunnah dibuang seperti bulu kemaluan atau bulu ketiak, hukumnya boleh. [2]
Walaupun diperbolehkan menghilangkan secara permanen, akan tetapi supaya tetap mendapatkan kesunnahan untuk mencukurnya di waktu-waktu yang akan datang lebih baik tidak dilakukan.

• Rambut yang diperintahkan untuk merawatnya bahkan ada larangan untuk mencukurnya, seperti jenggot lelaki, maka menurut sebagian ulama’ hukumnya makruh,tetapi menurut Imam Al-Ghozali hukumnya haram. [3]

• Rambut yang tumbuh tidak wajar seperti kumis atau jenggot pada perempuan, maka sunnah dihilangkan secara permanen. Begitu juga dengan bulu kaki atau tangan merupakan suatu yang tidak wajar bagi perempuan. Adapun bagi kaum lelaki karena tidak ada perintah untuk merawatnya dan tidak ada larangan dalam menghilangkannya, maka diperbolehkan dengan catatan tidak berniat untuk menyerupai wanita yang memiliki kulit halus sebagaimana kaum waria. [4]

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

[1] حواشي الشرواني – (ج 2 / ص 128)
فروع: ويحرم على المرأة وصل شعرها بشعر طاهر من غير آدمي ولم يأذنها فيه زوج أو سيد ويجوز ربط الشعر بخيوط الحرير الملونة ونحوها مما لا يشبه الشعر ويحرم أيضا تجعيد شعرها ووشر أسنانها وهو تحديدها وترقيقها والخضاب بالسواد وتحمير الوجنة بالحناء ونحوه وتطريف الاصابع مع السواد والتنميص وهو الاخذ من شعر الوجه والحاجب المحسن فإن أذن لها زوجها أو سيدها في ذلك جاز لان له غرضا في تزينها له كما في الروضة وهو الاوجه، وإن جرى في التحقيق على خلاف ذلك في الوصل والوشر فألحقهما بالوشم في المنع مطلقا ويكره أن ينتف الشيب من المحل الذي لا يطلب منه إزالة شعره ويسن خضبه بالحناء ونحوه ويسن للمرأة المزوجة والمملوكة خضب كفها وقدمها بذلك تعميما لانه زينة وهي مطلوبة منها لحليلها. أما النقش والتطريف فلا يسن وخرج بالمزوجة والمملوكة غيرهما فيكره له وبالمرأة الرجل والخنثى فيحرم.

[2] حواشي الشرواني – (ج 9 / ص 375)
خاتمة: يسن لكل أحد من الناس أن يدهن غبا بكسر الغين أي وقتا بعد وقت بحيث يجف الاول وأن يكتحل وترا لكل عين ثلاثة وأن يحلق العانة ويقلم الظفر وينتف الابط ويجوز حلق الابط ونتف العانة ويكون آتيا بأصل السنة قال المصنف في تهذيبه والسنة في الرجل حلق العانة وفي المرأة نتفها والخنثى مثلها كما بحثه شيخنا والعانة الشعر النابت حول الفرج والدبر وأن يقص الشارب حتى يتبين طرف الشفة بيانا ظاهرا ولا يحفيه من أصله ويكره تأخير هذه المذكورات عن الحاجة وتأخيرها إلى بعد الاربعين أشد كراهة وأن يغسل البراجم ولو في غير الوضوء وهي عقد الاصابع ومفاصلها وأن يغسل معاطف الاذن وصماخها فيزيل ما فيه من الوسخ بالمسح وأن يغسل داخل الانف تيامنا في كل المذكورات

[3] فتح الإله المنان / 19-20
(سئل) رحمه اله عن حلق اللحية هل يجوز، ومن اين حدها ، وهل في قص طولها كراهة ام لا ؟
(فاجاب بقوله): الحمد لله ونسأله سبحانه الهداية والتوفيق للصواب. قال في التحفة اللحية هو الشعر النابت على الذقن التي هي مجتمع اللحيين اهـ وكلام الإمام النووي في شرح المسلم يفيد انها تشمل العارضين ايضا، وعبارته في تعداد الخصال المكروهة في اللحية، السابعة الزيادة فيها او النقص منها بالزيادة في شعر العذار من الصدغين ، او اخذ بعض العذار في حلق الرأس ونتف جانبي العنفقة وغير ذلك انتهت، واما حلقها فالذي رجحه الإمام الغزالي واكثر المتأخرين الحرمة، ورجح الشيخان واخرون الكراهة، قال في النهاية وهو الأصح، واما قصها فقال الإمام النووي في شرح مسلم عن القاضي عياض ما صورته : واما الأخذ من طولها وعرضها فحسن، وتكره الشهرة في تعظيمها، ثم قال وقد اختلف السلف هل لذلك حدّ، فمنهم من لم يحدد شيئا في ذلك الا انه لا يتركها لحد الشهرة ويأخذ منها، ويكره مالك طولها جدا ، ومنهم من حدد بما زاد على القبضة فيزال، ومنهم من كره الأخذ منها الا في حج او عمرة، قال النووي بعد نقلة لكلام القاضي عياض هذا، والمختار ترك اللحية على حالها ةان يتعرض لها بتقصير شيئ مطلقا اهـ، وقال في بغية المسترشدين عن الأشخر لا يكره الأخذ من طول اللحية وعرضها كما ورد في الحديث، وان نص الأصحاب على كراهته، نعم نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها اهـ والله اعلم بالصواب

[4] مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 2 / ص 489)
وَيُكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ مِنْ الْمَحَلِّ الَّذِي لَا يُطْلَبُ مِنْهُ إزَالَةُ شَعْرِهِ لِخَبَرِ { لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ ، فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ ، وَإِنْ نَقَلَ ابْنُ الرِّفْعَةِ تَحْرِيمَهُ عَنْ نَصِّ الْأُمِّ ، وَقَالَ فِي الْمَجْمُوعِ : وَلَوْ قِيلَ بِتَحْرِيمِهِ لَمْ يُبْعَدْ ، وَنَتْفُ لِحْيَةِ الْمَرْأَةِ وَشَارِبِهَا مُسْتَحَبٌّ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مُثْلَةٌ فِي حَقِّهَا ، وَيُسَنُّ خَضْبُ الشَّيْبِ بِالْحِنَّاءِ وَنَحْوِهِ لِلِاتِّبَاعِ ، وَيُسَنُّ لِلْمَرْأَةِ الْمُزَوَّجَةِ أَوْ الْمَمْلُوكَةِ خَضْبُ كَفَّيْهَا وَقَدَمَيْهَا بِذَلِكَ تَعْمِيمًا لِأَنَّهُ زِينَةٌ وَهِيَ مَطْلُوبَةٌ مِنْهَا لِزَوْجِهَا أَوْ سَيِّدِهَا .
الخضاب عليهما إلا لعذر نهاية ومغني
Posted by Uswah On 1:37 AM No comments READ FULL POST
Bagaimana hukumnya bila suami-istri berhubungan, tapi sang istri sering mengeluarkan darah pada alat vitalnya, tapi ini bukan darah haid, dan cuma keluar waktu berhubungan.
Apakah ini dihukumi seperti berhubungan dengan istri yang sedang haid? Maaf atas pertanyaan saya. Terimakasih.

JAWABAN:

Perlu diketahui bahwa istihadhah adalah: darah yang keluar di luar masa haid atau nifas. termasuk darah yang keluar pada perempuan yang masih kecil (kurang dari 9 tahun hijriah) atau pada perempuan yang menopause yaitu perempuan yang sudah memasuki masa terputusnya datang bulan (sekitar umur 55 sampai 60 tahun). [1]

Hukum dari perempuan istihadhah adalah sebagaimana perempuan suci, sehingga tidak haram baginya melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang haid seperti shalat, puasa atau berhubungan dengan suami dan juga tidak makruh.

Mereka berdua juga tidak diwajibkan mencuci kemaluan karena najis darah, karena ini memberatkan. Namun tetap lebih baik dibasuh untuk menghindari terbentuknya anak dari sperma yang najis. [2]

[1] حاشية الجمل – (ج 2 / ص 384)

وَالِاسْتِحَاضَةُ ) وَهِيَ الدَّمُ الْوَاقِعُ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ فَيَشْمَلُ مَا تَرَاهُ الصَّغِيرَةُ وَالْآيِسَةُ وَقَوْلُ الْمَحَلِّيِّ هِيَ أَنْ يُجَاوِزَ الدَّمُ أَكْثَرَ الْحَيْضِ وَيَسْتَمِرَّ فِيهِ قُصُورٌ ؛ لِأَنَّ كُلَّ دَمٍ لَيْسَ فِي زَمَنِ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسِ اسْتِحَاضَةٌ ، وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ بِهِمَا إلَّا أَنْ يُقَالَ ذِكْرُهُ لِلْإِشَارَةِ إلَى تَقْدِيمِهَا عَلَى النِّفَاسِ أَوْ لِبَيَانِ حُكْمِهَا الْإِجْمَالِيِّ ، وَلَهَا أَرْبَعَةٌ وَأَرْبَعُونَ حُكْمًا مَذْكُورَةً فِي الْمُطَوَّلَاتِ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ .
وَعِبَارَةُ ح ل وَهِيَ الدَّمُ الَّذِي تَرَاهُ فِي غَيْرِ زَمَنِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ كَالدَّمِ الَّذِي تَرَاهُ الْمَرْأَةُ قَبْلَ تِسْعِ سِنِينَ بِمَا يَسَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا كَمَا تَقَدَّمَ فَلَا يُمْنَعُ مَا يَمْنَعُهُ الْحَيْضُ وَيَجُوزُ وَطْؤُهَا ، وَإِنْ كَانَ دَمُهَا جَارِيًا مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ انْتَهَتْ

[2] حاشية الجمل – (ج 2 / ص 385)

(قَوْلُهُ : فَلَا تُمْنَعُ مَا يَمْنَعُهُ الْحَيْضُ ) فَيَجُوزُ وَطْؤُهَا ، وَإِنْ كَانَ دَمُهَا جَارِيًا فِي زَمَنٍ يُحْكَمُ لَهَا فِيهِ بِكَوْنِهَا طَاهِرَةً وَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ ا هـ شَرْحُ م ر

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 4 / ص 225)

( وَالِاسْتِحَاضَةُ ) كَأَنْ يُجَاوِزَ الدَّمُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَيَسْتَمِرَّ ( حَدَثٌ دَائِمٌ كَسَلَسٍ ) بِفَتْحِ اللَّامِ أَيْ دَوَامِ بَوْلٍ أَوْ نَحْوِهِ فَإِنَّهُ حَدَثٌ دَائِمٌ أَيْضًا فَهُوَ تَشْبِيهٌ لِبَيَانِ حُكْمِهَا الْإِجْمَالِيِّ لَا تَمْثِيلَ لَهَا فَلِهَذَا فَرَّعَ عَلَيْهِ قَوْلَهُ ( فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ ) وَغَيْرَهُمَا مِمَّا يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ كَالْوَطْءِ ، وَلَوْ حَالَ جَرَيَانِ الدَّمِ ، وَالتَّضَمُّخُ بِالنَّجَاسَةِ لِلْحَاجَةِ جَائِزٌ بَيَانًا لِذَلِكَ الْحُكْمِ الْإِجْمَالِيِّ .
قلائد الخرائد وفرائد الفوائد ج1 ص36

45 – مسألة
أفتى بعض أهل اليمن وغيره بتحريم جماع من بال حتى يغسل ذكره، وفيه نظر مما سبق أول الباب عن الأئمة من جوازه للمُغْرِب وإن بال، لكن تلك حالة ضرورة لعدم الماء، وأيضا فالغالب تنجس الفرج بما تراه المرأة من الماء النازل إليه من الباطن، ولا يمكن الإحتراز، فيتنجس الفرجان، وكذا الإبتلاء بالمذي كثيرا عند ملاعبة النساء ويعسر انقطاعه حينئذ؟ فلو كلفناه غسله عند إرادة الجماع لأدى إلى حرج شديد، وربما فتر الإنتهاض له عن الجماع، وقد يتكرر بالعود قبله، فيحتاج لقيام آخر للغسل، ولا شك في المشقة بذلك، نعم الأولى فعله حذرا من خلق الولد من مني نجس إن سهل ذلك
Posted by Uswah On 1:35 AM No comments READ FULL POST
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?

Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri:

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan;
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;

kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

لا نكاح إلا بولي

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada KUA/Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada KUA/lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;
kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada KUA/lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[QS AL Baqarah (2):

Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Kepala Negara dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Kepala Negara/Presiden cq Menteri Agama memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh Kepala Negara/Presiden cq Menteri Agama atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan Kepala Negara/Presiden cq Menteri Agama dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang Presiden cq Direktorat Pertanahan berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, Kepala Negara/Presiden boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.

Kepala Negara/Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Kepala Negara/Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Kepala Negara/Presiden cq Menteri Agama boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut -- telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada Kepala Negara/Presiden dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang Kepala Negara/Presiden, dan orang yang ditunjuk oleh Kepala Negara/Presiden. Selain Kepala Negara/Presiden, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat.

Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Bahaya Terselubung Surat Nikah

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;

Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.

Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.

Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada KUA/Lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas.
Posted by Uswah On 1:32 AM No comments READ FULL POST
Belakangan ini di Indonesia banyak sekali kasus seorang istri mengugat cerai suaminya bahkan di kalangan artis itu sudah tidak tabu lagi
Bagaimana menurut pandangan islam bila seorang istri menggugat cerai suaminya dan bagaimana hukumnya bila seorang istri mengugat cerai suaminya?


JAWABAN :

Talak adalah pemutusan ikatan perkawinan suami-istri. Hak untuk menjatuhkan talak hanya dimiliki suami. Sedangkan istri sama sekali tidak mempunyai hak untuk mentalak suaminya, kecuali jika suami telah mewakilkan urusan talak pada istri, dalam arti menyerahkan hak talak padanya.
Begitu pula hakim, tidak ada hak baginya untuk menjatuhkan talak kecuali dalam beberapa keadaan darurat. [1]

Hukum seorang istri menggugat talak adalah :
• Haram dan tergolong nusyuz jika tidak ada alasan yang dibenarkan syari’at.
• Boleh, jika karena hal-hal yang diperbolehkan oleh syari’at seperti terjadinya percekcokan yang panjang (sesuai ketentuan yang akan kita bahas di bawah ini).

Bila terjadi konflik dalam rumah tangga (syiqaq) seperti perlakuan suami yang kurang baik, istri tidak bisa serta merta menfaskh (membatalkan) nikah karena masalah ini masih bisa diselesaikan di pengadilan.
Namun jika konflik ini berkepanjangan, sekiranya suami-istri sudah tidak bisa disatukan lagi, hakim wajib mengutus seorang yang adil sebagai hakam (penengah) dari kedua belah pihak untuk berunding guna mencarikan solusi.

Selanjutnya jika suami-istri berdamai, itu adalah keputusan terbaik, namun jika tidak, maka hakam dari pihak suami -atas seizin suami- wajib mentalak. Atau hakam dari pihak istri -atas izin istri- mengajukan khulu’ (memberi imbalan pada suami jika bersedia menceraikan istrinya).
Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i hakam hanyalah wakil dari suami-istri. Sedangkan pendapat kedua menyatakan status hakam adalah sebagai hakim yang berhak membuat keputusan, sehingga seorang hakam bisa langsung mentalak atau mengkhulu’ tanpa harus mendapatkan izin dari suami atau istri. [3]

Yang kami ketahui, proses yang dilakukan pengadilan agama dalam menangani gugatan cerai adalah memakai pendapat kedua, yaitu bisa langsung menjatuhkan talak tanpa seizin suami. Ini dilakukan agar proses lebih mudah. Nampaknya pengadilan agama di negeri kita mengarahkan semua konflik rumah tangga sebagai syiqoq, padahal belum tentu begitu.

Lain halnya bila suami tidak mampu untuk memenuhi hak istrinya seperti nafkah, maka istri punya dua pilihan yaitu:
• Melanjutkan pernikahan, konsekuensinya ia menafkahi dirinya sendiri atau berhutang dan pelunasannya ditanggung suami.
• Meminta hakim untuk menfaskh pernikahannya (membatalkannya). [4]

[1] الفقه الاسلامى الجزء 7 ص : 368
مالك الطلاق : يتبين مما سبق أن الذي يملك الطلاق إنما هو الزوج متى كان بالغا عاقلا، ولاتملكه الزوجة إلا بتوكيل من الزوج او تفويض منه. ولايملكه القاضى إلا فى أحوال خاصة للضرورة.

[2] اعانة الطالبين ج4/ص6

(قوله وهو اما واجب الخ) والحاصل تعتريه الاحكام الخمسة وذكر منها غيرالمباح – الى ان قال- (قوله كطلاق مول) تمثيل للطلاق الواجب . والمولى بضم الميم وكسر اللام وهو الحالف ان لايطأ زوجته فى العمر او زائدا عن اربعة اشهر فان مضت اربعة اشهر طالبته بالوطئ فان ابى وجبت عليه الطلاق فان اباه طلقها الحاكم عليه طلقة واحدة كما سيأتى فى بابه وانرج تحت الكاف طلاق الحكمين ان رأياه فهو واجب ايضا.

[3] تفسير الجلالين – (ج 2 / ص 27)

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (النساء /35)
}|وَإِنْ خِفْتُمْ } علمتم { شِقَاق } خلاف { بَيْنِهما } بين الزوجين والإضافة للاتساع أي شقاقاً بينهما { فابعثوا } إليهما برضاهما { حُكْمًا } رجلاً عدلاً { مِّنْ أَهْلِهِ } أقاربه { وَحَكَماً مّنْ أَهْلِهَآ } ويوكل الزوج حكَمَه في طلاقِ وقبول عوض عليه وتوكل هي حكمها في الاختلاع فيجتهدان ويأمران الظالم بالرجوع أو يُفَرِّقانِ إن رأياه . قال تعالى : { إِن يُرِيدآ } أي الحكَمان { إصلاحا يُوَفّقِ الله بَيْنَهُمَآ } بين الزوجين أي يقدّرهما على ما هو الطاعة من إصلاح أو فراق { إِنَّ الله كَانَ عَلِيماً } بكل شيء { خَبِيراً } بالبواطن كالظواهر .

حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 12 / ص 227)

( فَإِنْ اشْتَدَّ الشِّقَاقُ ) أَيْ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ دَامَا عَلَى التَّسَابِّ وَالتَّضَارُبِ ( بَعَثَ ) الْقَاضِي ( حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا ) لِيَنْظُرَا فِي أَمْرِهِمَا بَعْدَ اخْتِلَاءِ حَكَمِهِ بِهِ ، وَحَكَمِهَا بِهَا وَمَعْرِفَةِ مَا عِنْدَهُمَا فِي ذَلِكَ ، وَيُصْلِحَا بَيْنَهُمَا أَوْ يُفَرِّقَا إنْ عَسُرَ الْإِصْلَاحُ عَلَى مَا سَيَأْتِي قَالَ تَعَالَى : { وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا } إلَخْ وَهَلْ بَعْثُهُ وَاجِبٌ ، أَوْ مُسْتَحَبٌّ وَجْهَانِ صَحَّحَ فِي الرَّوْضَةِ ، وُجُوبَهُ لِظَاهِرِ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ ( وَهُمَا وَكِيلَانِ لَهُمَا وَفِي قَوْلٍ ) حَاكِمَانِ ( مُوَلَّيَانِ مِنْ الْحَاكِمِ ) لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّاهُمَا حَكَمَيْنِ ، وَالْوَكِيلُ مَأْذُونٌ لَيْسَ بِحَكَمٍ ، وَوَجْهُ الْأَوَّلِ أَنَّ الْحَالَ قَدْ يُؤَدِّي إلَى الْفِرَاقِ وَالْبُضْعُ حَقُّ الزَّوْجِ ، وَالْمَالُ حَقُّ الزَّوْجَةِ وَهُمَا رَشِيدَانِ ، فَلَا يُوَلَّى عَلَيْهِمَا فِي حَقِّهِمَا ( فَعَلَى الْأَوَّلِ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا ) بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ ( فَيُوَكِّلُ ) هُوَ ( حَكَمَهُ بِطَلَاقٍ وَقَبُولِ عِوَضِ خُلْعٍ وَتُوكِلُ ) هِيَ ( حَكَمَهَا بِبَذْلِ عِوَضٍ وَقَبُولِ طَلَاقٍ بِهِ ) ، وَيُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَعَلَى الثَّانِي لَا يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ ، وَإِذَا رَأَى حَكَمُ الزَّوْجِ الطَّلَاقَ اسْتَقَلَّ بِهِ وَلَا يَزِيدُ عَلَى طَلْقَةٍ وَإِنْ رَأَى الْخُلْعَ ، وَوَافَقَهُ حَكَمُهَا تَخَالَعَا وَإِنْ لَمْ يَرْضَ الزَّوْجَانِ ثُمَّ الْحَكَمَانِ يُشْتَرَطُ فِيهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا الْحُرِّيَّةُ وَالْعَدَالَةُ وَالِاهْتِدَاءُ إلَى مَا هُوَ الْمَقْصُودُ مِنْ بَعْثِهِمَا دُونَ الِاجْتِهَادِ ، وَتُشْتَرَطُ الذُّكُورَةُ عَلَى الثَّانِي وَكَوْنُهُمَا مِنْ أَهْلِ الزَّوْجَيْنِ أَوْلَى لَا وَاجِبٌ .

الفقه الاسلامى الجزء 9 ص: 741

التفريق القضائى قد يكون طلاقا وهو التفريق بسب عدم الانفاق او الايلاء او للعلل او للشقاق بين الزوجة او للغيبة وللحبس او للتعسف وقد يكون فسخا للعقد من اصله كما هو حال التفريق بالعقد الفاسد كالتفريق بسبب الردة وإسلام احد الزوجين, والفرق بين الطلاق والفسخ فى رأى الحنيفة ان الطلاق هو إنهاء الزوج وتقرير الحقوق السابقة من المهر ونحوه ويحسب من الطلقات الثلاث التى يملكها الرجل على إمرأته وهو لايكون الا فى العقد الصحيح وأما الفسخ فهو نقض العقد من أصله او منع استمراره ولايحسب من عدد الطلاق ويكون غالبا فى العقد الفاسد او غير اللازم اهـ

إعلام والإهتمام بجمع فتاوي شيخ الإسلام ص 228

(سئل) عن امرأة خرجت من بيتها بغير اذن زوجها وامتنعت من الرجوع إليه ، فهل هي ناشزة تستحق به ومن يعينها غلى ذلك التعزير أولا؟ وهل يلزمه لها نفقة وكسوة مادامت كذلك أولا؟ وهل يلزم بطلاقها أم لا؟ واذا دفع إليها شيأ لتعود إلى منزلها فلم تعد فهل له الرجوع به عليها أولا؟ وهل يثاب ولي الامر على تعزيرها وتعزيرمن يعينها على ذلك أولا؟
(فأجاب) بأن هذه المرأة ناشزة بذلك تستحق التعزير وكذا من يعينها عليه، ولاتستحق على زوجها نفقة وكسوة مادامت ناشزة ولا يلزم الزوج بطلاقها بل الأمر راجع إلى اختياره، واذا دفع إليها شيأ لتعود فلم تعد فله الرجوع عليها به، ويثاب ولي الامر وفقه الله تعالى على تعزيرها وتعزيرمن يعينها على ذلك بطريقه الشرعي،والله أعلم

عمدة المفتي والمستفتي ص 160 – 161 ج 3
مسألة : إذا تضررت الزوجة من سوء عشرة الزوج من الضرب وغيرها من سوء المعاشرة، فليس للزوجة فسخ نكاحها بذلك لأنها تندفع بالرفع الى الحاكم . ففي التحفة والمنهاج ما حاصله : ولو منعها حقا كقسم ونفقة الزمه القاضي توفيته، فان اساء خلقه وآذاها بنحو ضرب ولا سبب نهاه فإن عاد عزره، فإن قال كل إن صاحبه متعد تعرف وجوبا القاضي الحال بينها بثقة يخبرهما بمجاورة لهما، ومنع الظالم منهما من ظلمه، فان لم يمتنع حال بينهما الى ان يرجع، بل يظهر أنه لو علم من جرأته وتهوره انه لو اختلى بها أفرط في إضرارها حال بينه وبينها ابتداء وجوبا، لأن الإسكان بجنب الثقة حينئذ لا يفيد . ثم رأيت الإمام قال : إن ظن تعديه لم يحل، وإن تحققه أو ثبت عنده وخاف أن يضربها ضربا مبرحا حال بينهما لئلا يبلغ منهما ما لا يستدرك، فإن اشتد الشقاق بعث القاضي وجوبا حكما من أهله وحكما من أهلها ينظران في أمرهما، فيوكل حكمه في طلاق وقبول عوض خلع، وتوكل حكمها ببذل عوض خلع وقبول طلاق انتهى . قال شيخنا : فإذا ثبت مضاررة الزوج لها لم تجبر الزوجة على الرجوع اليه . ولا يجوز حبس الزوج وإجباره على الطلاق لإمكان اندفاع الضرر بالحلولة، وللمرأة أن تطلب المهر من زوجها متى شاءت قبل الطلاق وإن كانت ناشزة، لأن النشوز لا يسقط المهر لأنه ثبت بالعقد، وليس لها الامتناع من الرجوع الى الزوج بسبب عدم تسليمه المهر حيث كان قد دخل بها . انتهى كلام شيخنا

[4] روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 3 / ص 292)

الباب الثالث في الإعسار بنفقة الزوجة
فيه أربعة أطراف : الطرف الأول في ثبوت الفسخ به فإذا عجز الزوج عن القيام بمؤن الزوجة الموظفة عليه فالذي نص عليه الشافعي رضي الله عنه في كتبه قديماً وجديداً أنها بالخيار إن شاءت صبرت وأنفقت من مالها أو اقترضت وأنفقت على نفسها ونفقتها في ذمته إلى أن يوسر وإن شاءت طلبت فسخ النكاح وقال في بعض كتبه بعد ذكر هذا وقد قيل لا خيار لها.وللأصحاب طريقان أحدهما القطع بأن لها حق الفسخ وهذا أرجح عند ابن كج والروياني وأصحهما إثبات قولين المشهور منهما أن لها الفسخ والثاني لا فالمذهب ثبوت الفسخ فأما إذا امتنع من دفع النفقة مع قدرته فوجهان أحدهما لها الفسخ لتضررها وأصحهما لا فسخ لتمكنها من تحصيل حقها بالسلطان وكذا لو قدرت على شيء من ماله أو غاب وهو موسر في غيبته ولا يوفيها حقها ففيه الوجهان أصحهما لا فسخ وكان المؤثر تغيبه لخراب ذمته ولكن يبعث الحاكم إلى حاكم بلده ليطالبه إن كان موضعه معلوماً وعلى الوجه الآخر يجوز الفسخ إذا تعذر تحصيلها وهو اختيار القاضي الطبري وإليه مال ابن الصباغ وذكر الروياني وابن أخته صاحب العدة أن المصلحة الفتوى به وإذا لم نجوز الفسخ والغائب موسر فجهلنا يساره وإعساره فكذلك الحكم لأن السبب لم يتحقق ومتى ثبت إعسار الغائب عند حاكم بلدها فهل يجوز الفسخ أم لا يفسخ حتى يبعث إليه فإن لم يحضر ولم يبعث النفقة فحينئذ يفسخ فيه وجهان أصحهما الأول وبه قطع المتولي ولو كان الرجل حاضراً وماله غائب فإن كان على دون مسافة القصر فلا فسخ ويؤمر بتعجيل الإحضار وإن كان على مسافة القصر فلها الفسخ ولا يلزمها الصبر.ولو كان له دين مؤجل فلها الفسخ إلا أن يكون الأجل قريباً وينبغي أن يضبط القرب بمدة إحضار المال الغائب فيما دون مسافة القصر وإن كان الدين حالاً وهو على معسر فلها الخيار وإن كان على موسر حاضر فلا خيار وإن كان غائباً فوجهان ولو كان له دين على زوجته فأمرها بالإنفاق منه فإن كانت موسرة فلا خيار لها وإن كانت معسرة فلها الفسخ لأنها لا تصل إلى حقها والمعسر منظر وعلى قياس هذه الصور لو كان له عقار ونحوه لا يرغب في شرائه ينبغي أن يكون لها الخيار ومن عليه ديون تستغرق ماله لا خيار لزوجته حتى يصرف ماله إلى الديون.

روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 3 / ص 75)

فرع فيما تصير به ناشزة
فمنه الخروج من المسكن والامتناع من مساكنته ومنع الاستمتاع بحيث يحتاج في ردها إلى الطاعة إلى تعب ولا أثر لامتناع الدلال وليس من النشوز الشتم وبذاء اللسان لكنها تأثم بايذائه وتستحق التأديب وهل يؤدبها الزوج أم يرفع إلى القاضي ليؤدبها وجهان ولو مكنت من الجماع ومنعت من سائر الاستمتاعات فهل هو نشوز يسقط النفقة وجهان قلت أصحهما نعم والأصح من الوجهين في تأديبها أنه يؤدبها بنفسه لأن في رفعها إلى القاضي مشقة وعارا وتنكيدا للاستمتاع فيما بعد وتوحيشا للقلوب بخلاف ما لو شتمت أجنبيا والله أعلم.
الحال الثاني أن يتعدى الرجل فينظر إن منعها حقا كنفقة أو قسم ألزمه الحاكم توفية حقها ولو كان يسيء خلقه ويؤذيها ويضربها بلا سبب ففي التتمة أن الحاكم ينهاه فإن عاد عزره وفي الشامل وغيره أنه يسكنهما بجنب ثقة ينظرهما ويمنعه من التعدي والنقلان متقاربان وذكروا أنه لو كان التعدي منهما جميعاً فكذلك يفعل الحاكم ولم يتعرضوا للحيلولة وقال الغزالي يحال بينهما حتى يعودا إلى العدل قال ولا يعتمد قوله في العدل وإنما يعتمد قولها وشهادة القرائن وإن كان لا يمنعها حقا ولا يؤذيها بضرب ونحوه لكن يكره صحبتها لمرض أو كبر ولا يدعوها إلى فراشه أو يهم بطلاقها فلا شيء عليه ويستحب لها أن تسترضيه بترك بعض حقها من قسم أو نفقة وكذا لو كانت هي تشكوه وتكره صحبته فيحسن أن يبرها ويستميل قلبها بما تيسر له الحال الثالث إذا نسب كل واحد الآخر إلى التعدي وسوء الخلق وقبح السيرة ولم يعرف الحاكم المتعدي منهما يعرف حالهما من ثقه في جوارهما خبير بهما فإن لم يكن أسكنهما بجنب ثقة يبحث عن حالهما وينهيها إليه فإن علم الظالم منعه هكذا أطلقوه وظاهره الاكتفاء بقول عدل ولا يخلو عن احتمال وإذا اشتد شقاقهما وداما على السباب الفاحش والتضارب بعث القاضي حكما من أهله وحكما من أهلها لينظرا في أمرهما ويصلحا بينهما أو يفرقا إن عسر الإصلاح وهل بعث الحكمين واجب قال البغوي عليه بعثهما وظاهره الوجوب وحجته الآية وقال الروياني يستحب قلت الأصح أو الصحيح الوجوب والله أعلم.
ثم المبعوثان وكيلان للزوجين أم حاكمان موليان من جهة الحاكم فيه قولان أظهرهما وكيلان فعلى هذا يوكل الزوج حكمه في التطليق عليه وقبول الخلع والمرأة حكمها ببذل العوض وقبول الطلاق ولا يجوز بعثهما إلا برضاهما فإن لم يرضيا ولم يتفقا على شيء أدب القاضي الظالم واستوفى حق المظلوم وإذا قلنا هما حكمان لم يشترط رضى الزوجين في بعثهما وإذا رأى حكم الزوج الطلاق استقل به ولا يزيد على طلقة لكن إن راجعها الزوج وداما على الشقاق طلق ثانية وثالثة وإن رأى الخلع ووافقه حكمها تخالعا وإن لم يرض الزوجان ولو رأى الحكمان أن تترك المرأة بعض حقها من قسم ونفقة أو أن لا يتسرى أو لا ينكح عليها غيرها لم يلزمه ذلك بلا خلاف وإن كان لأحدهما على الآخر مال متعلق بالنكاح أو غير متعلق لم يجز للحكم استيفاؤه من غير رضى صاحبه بلا خلاف ويشترط في المبعوثين التكليف قطعاً ويشترط العدالة والإسلام والحرية على المذهب ويشترط الاهتداء إلى ما هو المقصود من بعثهما وأشار الغزالي إلى خلاف فيه ويشترط الذكورة إن قلنا حكمان وإن قلنا وكيلان قال الحناطي لا يشترط في وكيلها وفي وكيله وجهان ولا يشترط فيهما الاجتهاد وإن قلنا حكمان ولا كونهما من أهل الزوجين لكن أهلهما أولى ولو كان القاضي من أهل أحدهما فله أن يذهب بنفسه وفيما علق عن الإمام اشتراط كونهما من أهلهما و لايجوز الاقتصار على حكم واحد على الأصح وبه قطع ابن كج وينبغي أن يخلو حكمه به وحكمها بها فيعرفا ما عندهما وما فيه رغبتهما فإذا اجتمعا لم يخف أحدهما عن الآخر شيئاً وعملا ما رأياه صوابا ولو اختلف رأي الحكمين بعث آخرين حتى يجتمعا على شيء ذكره الحناطي ولو جن أحد الزوجين أو أغمي عليه لم يجز بعثهما بعده وإن جن بعد استعلام الحكمين رأيه لم يجز تنفيذ الأمر وقيل إن قلنا حاكمان لم يؤثر جنون أحدهما قاله ابن كج وقيل الإغماء لا يؤثر إن قلنا وكيلان كالنوم حكاه الحناطي وهذا ينبغي أن يجيء في كل وكالة والصحيح الاول ولو غاب أحد الزوجين بعد بعث الحكمين نفذ الأمر إن قلنا وكيلان وإلا فلا على الصحيح
Posted by Uswah On 1:30 AM 3 comments READ FULL POST
1. Saya pernah ngobrol2 dengan teman masalah hubungan suami istri. Salah satu teman saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa ”perempuan lebih dapat merasakan kenikmatan hubungan seks dengan menggunakan alat seks (vibrator)”. Pertanyaan kami adalah bagaimana hukumnya? dan bagaimana hukumnya perempuan masturbasi tetapi dengan suaminya?
2. Mohon dijelaskan, suami saya pergi kerja ke negri jiran dan pulangnya setahun sekali tapi kami sepakat tetap menjalin kasih meski berpisah agak lama, maka suami saya mengusulkan kepada saya agar tidak kesepian (ingin melakukan hub. suami istri) dan tidak ada di antara kita yang selingkuh, suami membelikan saya vibrator (alat seks) yang bisa saya gunakan sewaktu-waktu, bagaimana hukumnya menggunakan vibrator tsb.? apakah hal itu boleh disebut zina dan apakah hukumnya? mohon penjelasannya.

JAWABAN :
Masturbasi atau onani hukumnya haram bagi laki-laki maupun perempuan, baik dengan alat (vibrator) seperti dalam pertanyaan atau dengan lainnya. Kecuali jika masturbasi/onani tersebut dilakukan oleh suami dengan tangan istrinya atau sebaliknya maka hukumnya halal selama bukan untuk memecah selaput keperawanan. Jika dilakukan suami untuk memecah selaput dara istri maka hukumnya haram baik dengan jari suami atau benda lainnya.

الصاوي على شرح تفسير الجلالين / 3 / 112

(قوله: كالإستمناء باليد) اي فهو حرام عند مالك والشافعي وابي حنيفة فقال احمد بن حنبل يجوز بشروط ثلاثة ان يخاف الزنا والا يجد مهر حرة او ثمن امة وان يفعله بيده لا بيد اجنبي او اجنبية

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 388)

(قوله: أو استمناء بيدها) أي ولو باستمناء بيدها فإنه جائز.وقوله لا بيده: أي لا يجوز الاستمناء بيده، أي ولا بيد غيره غير حليلته، ففي بعض الاحاديث لعن الله من نكح يده. وإن الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم وقوله وإن خاف الزنا: غاية لقوله لا بيده، أي لا يجوز بيده وإن خاف الزنا. وقوله خلافا لاحمد: أي فإنه أجازه بيده بشرط خوف الزنا وبشرط فقد مهر حرة وثمن أمة (قوله: ولا افتضاض بأصبع) ظاهر صنيعه أنه معطوف على قوله لا بيده، وهو لا يصح: إذ يصير التقدير ولا يجوز استمناء بافتضاض، ولا معنى له. فيتعين جعله فاعلا لفعل مقدر: أي ولا يجوز افتضاض: أي إزالة البكارة بأصبعه. وفي البجيرمي ما نصه: قال سم ولا يجوز إزالة بكارتها بأصبعه أو نحوها، إذ لو جاز ذلك لم يكن عجزه عن إزالتها مثبتا للخيار لقدرته على إزالتها بذلك

Onani ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan “istimna” (onani) yang dilakukan laki-laki atau masturbasi yang dilakukan wanita. Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah SWT ketika menyebutkan orang-orang Mukmin dan sifat-sifatnya berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ .فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba-hamba yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di sebalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mukminun: 5-7).

Al-’adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar peraturan-peraturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan isterinya dan melakukan onani, maka berarti dia telah melampaui batas; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah, dan dalam ayat di atas khitabnya memang kepada laki-laki karena laki-laki lebih tidak kuat menahan syahwatnya daripada wanita, akan tetapi bisa diqiaskan juga keharaman dalam ayat tersebut juga berlaku pada wanita dengan cara masturbasi

Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan daripada ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) atau masturbasi itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak bagi laki-laki dan mengambil kepuasaan bagi wanita. Perbuatan ini tidak boleh dia lakukan, ini karena ia mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para doktor kesehatan. Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasaan buruk tersebut.

Kewajiban anda, wahai orang yang bertanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga karena bertentangan dengan makna yang jelas dari ayat al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Maka dia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khuatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaklah segera menikah, dan jika belum mampu hendaklah berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah SAW,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera bernikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.” (Muttafaq ‘Alaih).

Di dalam hadits ini baginda SAW tidak mengatakan: “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah dia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi baginda SAW mengatakan: “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.”

Pada hadits tadi Rasulullah SAW menyebutkan dua hal, iaitu:

Pertama, Segera bernikah bagi yang mampu.
Kedua, Meredakan nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, karena puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syaitan.

Maka hendaklah anda beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam . Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya. Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang bernikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ وَالْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

“Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah SWT: al-mukatab (hamba yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan dirinya, Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari penjelasan di atas, meskipun ayat dan hadits itu khitabnya tertuju pada laki-laki akan tetapi secara hukum bisa diqiaskan kepada wanita, jadi usulan suami anda tersebut suatu hal yang tidak benar dan haram hukumnya.

Akan tetapi kalau kita melihat pendapat Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Tafsir Showiy alal Jalalain di sana disebutkan:
فقال احمد بن حنبل يجوز بشروط ثلاثة ان يخاف الزنا والا يجد مهر حرة او ثمن امة وان يفعله بيده لا بيد اجنبي او اجنبية
" Imam ahmad bin Hambal berkata diperbolehkan onani/masturbasi dengan tiga syarat: 1). apabila khawatir zina. 2). Tidak menemukan/mempunyai mahar untuk wanita merdeka atau harga seorang amat (budak perempuan) (ini karena kebiasaan/adat orang Timur Tengah mahar untuk wanita merdeka itu besar, pen) 3). dia melakukan dengan tangannya sendiri tidak dengan tangan laki-laki lain atau wanita lain.
Posted by Uswah On 1:29 AM 79 comments READ FULL POST
Istihdad adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi).

Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari, hadits ‘Aisyah dan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, istihdad ini disebutkan dengan lafadz:....(mencukur ‘anah). Pengertian ‘anah adalah rambut yang tumbuh di atas kemaluan dan sekitarnya.

Istihdad hukumnya sunnah, dasarnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra. Rasulullah bersabda,

Lima perkara termasuk fitrah; istihdad (mencukur bulu kemaluan), khitan, menggunting kumis, mencabut bulu ketiak dan menggunting kuku. (HR. Bukhari)

Tujuannya adalah untuk kebersihan. Dan istihdad ini juga disyariatkan bagi wanita, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits:

Pelan-pelanlah, jangan tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di waktu malam –yakni waktu Isya’– agar para istri yang ditinggalkan sempat menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut dan sempat beristihdad (mencukur rambut kemaluan). (HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

Apabila engkau telah masuk ke negerimu (sepulang dari bepergian/safar) maka janganlah engkau masuk menemui istrimu hingga ia sempat beristihdad dan menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut. (HR. Al-Bukhari no. 5246)


Yang utama rambut kemaluan tersebut dicukur sampai habis tanpa menyisakannya. Dan dibolehkan mengguntingnya dengan alat gunting, dicabut, atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut, karena yang menjadi tujuan adalah diperolehnya kebersihan. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/342, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ketika ditanya tentang boleh tidaknya menggunakan gunting untuk menghilangkan rambut kemaluan, beliau menjawab, “Aku berharap hal itu dibolehkan.” Namun ketika ditanya apakah boleh mencabutnya, beliau balik bertanya, “Apakah ada orang yang kuat menanggung sakitnya?” Abu Bakar ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata, “Rambut kemaluan ini merupakan rambut yang lebih utama untuk dihilangkan karena tebal, banyak dan kotoran bisa melekat padanya. Beda halnya dengan rambut ketiak.”

Waktu yang disenangi untuk melakukan istihdad adalah sesuai kebutuhan dengan melihat panjang pendeknya rambut yang ada di kemaluan tersebut. Kalau sudah panjang tentunya harus segera dipotong/dicukur. (Al-Minhaj 3/140, Fathul Bari 10/422, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad). Pendapat yang masyhur dari jumhur ulama menyatakan yang dicukur adalah rambut yang tumbuh di sekitar zakar laki-laki dan kemaluan wanita. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239)

Adapun rambut yang tumbuh di sekitar dubur, terjadi perselisihan pendapat tentang boleh tidaknya mencukurnya. Ibnul ‘Arabi rahimahullahu mengatakan bahwa tidak disyariatkan mencukurnya, demikian pula yang dikatakan Al-Fakihi dalam Syarhul ‘Umdah. Namun tidak ada dalil yang menjadi sandaran bagi mereka yang melarang mencukur rambut yang tumbuh di dubur ini. Adapun Abu Syamah berpendapat, “Disunnahkan menghilangkan rambut dari qubul dan dubur. Bahkan menghilangkan rambut dari dubur lebih utama karena dikhawatirkan di rambut tersebut ada sesuatu dari kotoran yang menempel, sehingga tidak dapat dihilangkan oleh orang yang beristinja (cebok) kecuali dengan air dan tidak dapat dihilangkan dengan istijmar (bersuci dari najis dengan menggunakan batu).” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat Abu Syamah ini. (Fathul Bari, 10/422). Mencukur rambut kemaluan ini tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh orang lain, terkecuali orang yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan istri. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/342, Fathul Bari 10/423)
Posted by Uswah On 1:28 AM No comments READ FULL POST
seorang suami menjatuhkan talaknya kepada istrinya. tidak ada rujuk diantara keduanya hingga kira-kira 5 bulan. selama lima bulan itu keduanya hidup sebagaimana suami istri pada umumnya. setelah lima bulan, suaminya kembali mengucapkan talak yang kedua kalinya. lima bulan lagi, talak ketiga kembali dijatuhkan.
pertanyaan saya :
1. bagaimana status suami istri tersebut pasca jatuhnya talak pertama?
2. mengingat tidak ada rujuk, apakah semua perceraian itu dianggap talak tiga, sehingga mengharuskan adanya muhallil untuk bisa menikah lagi?
mohon pertanyaan ini dijawab mengingat pentingnya hal ini dan banyak orang awam yang kurang memahami masalah tersebut.

JAWABAN :

Talak pertama dan kedua dapat dirujuk jika masih dalam masa iddah (3 kali suci). Namun jika selesai masa iddah, maka istri menjadi ba’in (tidak dapat dirujuk tapi harus dengan akad baru). Selama waktu iddah status istri seperti perempuan lain (ajnabiyah), maka haram bertemu, memandang apalagi berhubungan badan sebelum merujuknya.

Rujuk harus dengan ucapan (saya kembali kepadamu) dan tidak cukup dengan melaksanakan hubungan badan walaupun dengan niat merujuk.

Setelah istri dinyatakan ba’in (seperti keterangan di atas), maka tidak dapat disusul dengan talak selanjutnya sekalipun diucapkan berulang kali artinya talak setelah iddah tidak menambah jumlah talak.

TAMBAHAN :

Ketika melangsungkan iddah jika ada mu’asyarah dari suami (tinggal bersama sebagaimana sebelum talak) dan kholwah (tinggal bersama tanpa keberadaan orang lain dan memungkinkan untuk hubungan badan), maka perhitungan iddahnya terhenti sehingga memungkinkan untuk disusulkan talak berikutnya.
Hukum ini hanya berlaku pada talak roj’ah (talak satu atau dua), bukan talak ba’in atau talak dalam keadaan hamil. Disamping itu hanya berlaku dalam menyusulkan talak bukan ruju’ karena tidak dapat dilakukan ruju’ setelah sempurna tiga kali suci dari awal talak.

مجموع في أحكام النكاح ص233-234

(ولا تصح الرجعة) بفتح الراء أفصح من كسرها (إلا بالقول) ولو بالعجمية سواء أحسن العربية أملا فلا تصح بالفعل كالوطء ونحوه وإن نوى به الرجعة لعدم دلالته عليه وكما لايصح به النكاح نعم سستسنى من إطلاقه إشارة الأخرس المفهمة فإنها كالنطق في حقه كما مر في النكاح والطلاق وكذالك الكناية مع النية ولو مع القدرة على النطق

بغية النجاح ص105-107

الرجعة هي رد المرأة إلى النكاح من طلاق عير بائن في العدة على وجه مخصوص فإذا طلق الحر زوجته الطدخول بها طلقة أو طلقتين أو العقد طلقة وكان ذالك الطلاق بدون عوض راجع لجهة الزوج فله مراجعتها مادامت في العدة لقوله تعالى “وبعولتهن أحق بردهن في ذالك إن أرادو إصلاحا. أما إذا استوفى الزوج عدد الطلاق فلا تحل له حتى تنكح زوجا غيره بشروط المتقدمة. وأما إذا كان الطلاق بعوض راجع لجهة الزوج أو كانت غير مدخول بها أو كانت قد انتقضت عدتها فلا رجعة له حينئذ

الياقوت النفيس / 154

اركان الطلاق خمسة : مطلق، وصيغة ، ومحلّ (وهو الزوجة ولو رجعية)، وولاية عليه، وقصد.
بغية النجاح ص 90
حكم الطلا البائن بينونة صغرى انها لا تحل له الا بعقد جديد ومهر جديد بعد اذن لوليها في ذلك وتعوذ له بما بقي من عدد الطلاق وتجب لها السكنى حال العدة واما النفقة فلا تجب لها الا ان كانت حاملا.

NASH-NASH TAMBAHAN

حاشية البجيرمي على الخطيب – )ج 11 / ص 261)

قَوْلُهُ : ( لَوْ طَلَّقَ زَوْجَتَهُ ) سَوَاءٌ كَانَتْ حُرَّةً أَوْ أَمَةً وَالْحَاصِلُ : أَنَّهُ إنْ عَاشَرَهَا بِغَيْرِ وَطْءٍ كَخَلْوَةٍ أَوْ بِوَطْءٍ فَإِنْ كَانَتْ رَجْعِيَّةً لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتهَا ، بِالنِّسْبَةِ لِلُحُوقِ الطَّلَاقِ ، وَانْقَضَتْ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجْعَةِ فَلَا رَجْعَةَ بَعْدَ الْأَقْرَاءِ . أَوْ الْأَشْهُرِ وَالتَّوَارُثِ ، فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا ، وَإِنْ كَانَتْ بَائِنًا فَلَا عِبْرَةَ بِالْمُعَاشَرَةِ بِغَيْرِ وَطْءٍ كَخَلْوَةٍ وَلَا بِوَطْءٍ بِلَا شُبْهَةٍ أَمَّا إنْ عَاشَرَهَا بِوَطْءٍ بِشُبْهَةٍ فَكَالرَّجْعِيَّةِ فِي أَنَّهَا لَا تَتَزَوَّجُ ، حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنْ انْقِطَاعِ الْمُعَاشَرَةِ وَلَيْسَتْ كَالرَّجْعِيَّةِ مُطْلَقًا فَلَا يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ وَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ نَحْوَ أُخْتِهَا . ا هـ . مد . قَوْلُهُ : ( وَعَاشَرَهَا ) الْمُرَادُ بِالْمُعَاشَرَةِ أَنْ يَدُومَ عَلَى حَالَتِهِ الَّتِي كَانَتْ مَعَهَا قَبْلَ الطَّلَاقِ مِنْ النَّوْمِ مَعَهَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا وَالْخَلْوَةِ بِهَا كَذَلِكَ وَغَيْرُ ذَلِكَ قل عَلَى الْجَلَالِ وَقَوْلُهُ : بِلَا وَطْءٍ فِيهِ أَنَّهُ إذَا عَاشَرَ الرَّجْعِيَّةَ وَلَوْ بِوَطْءٍ كَانَ الْحُكْمُ كَذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَلَا مَفْهُومَ لِقَوْلِهِ : بِلَا وَطْءٍ وَقَوْلُهُ بِلَا وَطْءٍ عِبَارَةُ الْمَنْهَجِ بِوَطْءٍ أَوْ غَيْرِهِ . قَوْلُهُ : ( بِلَا وَطْءٍ ) لَيْسَ بِقَيْدٍ بَلْ لَوْ وَطِئَهَا كَانَ كَذَلِكَ ، وَلَا يُحَدُّ بِوَطْئِهَا كَمَا رَجَّحَهُ الْبُلْقِينِيُّ ا هـ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ إلَى بِهِ لِتَتَأَتَّى الْأَقْوَالُ الثَّلَاثَةُ : أَوَّلُهَا تَنْقَضِي مُطْلَقًا ، لَا تَنْقَضِي مُطْلَقًا ، أَوْ تَنْقَضِي إنْ كَانَتْ بَائِنًا قَوْلُهُ : ( فَإِنْ كَانَتْ بَائِنًا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِمَا ذُكِرَ ) لِأَنَّهَا إذَا كَانَتْ بَائِنًا وَعَاشَرَهَا بِوَطْءِ شُبْهَةٍ كَانَ كَذَلِكَ كَمُعَاشَرَةِ الرَّجْعِيَّةِ ، أَمَّا الرَّجْعِيَّةُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مُعَاشَرَتِهَا بِالْوَطْءِ أَوْ غَيْرِهِ ا هـ . قَوْلُهُ : ( لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا بِذَلِكَ ) أَيْ بِالنِّسْبَةِ لِلْغَيْرِ لَكِنْ إذَا زَالَتْ الْمُعَاشَرَةُ أَتَمَّتْ عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّتِهَا قَبْلَ الْمُعَاشَرَةِ إنْ كَانَ ، وَإِلَّا فَتَسْتَأْنِفُ ا هـ . عش وَمَرْحُومِيٌّ . وَعِبَارَةُ حَلَّ بَعْدَ قَوْلِ الْمَنْهَجِ : لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا فَإِذَا زَالَتْ الْمُعَاشَرَةُ بِأَنْ نَوَى أَنَّهُ لَا يَعُودُ إلَيْهَا ، كَمَّلَتْ عَلَى مَا مَضَى قَبْلَ الْمُعَاشَرَةِ . وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ الْمُعَاشَرَةَ لَا تَنْقَطِعُ إلَّا بِالنِّيَّةِ وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَوْ عَادَ لِلْمُعَاشَرَةِ كَانَتْ مُعَاشَرَةً جَدِيدَةً ا هـ . فَإِنْ لَمْ يَمْضِ زَمَنٌ فَلَا مُعَاشَرَةَ بِأَنْ اسْتَمَرَّتْ الْمُعَاشَرَةُ مِنْ حِينِ الطَّلَاقِ فَتَسْتَأْنِفُ الْعِدَّةَ مِنْ حِينِ زَوَالِ الْمُعَاشَرَةِ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ كَلَامُ حَلَّ فِي الْقَوْلَةِ الْأُخْرَى بَعْدَ هَذِهِ وَهِيَ مَا نَصُّهُ قَوْلُهُ : إلَى انْقِضَاءِ أَيْ الْعِدَّةِ الَّتِي تَسْتَأْنِفُهَا بَعْدَ زَوَالِ الْمُعَاشَرَةِ وَلَا رَجْعَةَ لَهُ فِي هَذِهِ الْعِدَّةِ لِأَنَّ لُحُوقَ الطَّلَاقِ لِلتَّغْلِيظِ عَلَيْهِ ا هـ . إذَا عَرَفْت هَذَا عَرَفْت أَنَّهُ لَا مُخَالَفَةَ بَيْنَ كَلَامِ مَرَّ وَكَلَامِ الْمَرْحُومِيِّ الْمَذْكُورِ . قَوْلُهُ : ( وَلَا رَجْعَةَ لَهُ ) : وَحِينَئِذٍ فَهِيَ كَالْبَائِنِ بَعْدَ مُضِيِّ عِدَّتِهَا الْأَصْلِيَّةِ إلَّا فِي لُحُوقِ الطَّلَاقِ خَاصَّةً فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَلَا يَصِحُّ مِنْهَا إيلَاءٌ وَلَا ظِهَارٌ وَلَا لِعَانٌ وَلَا نَفَقَةَ وَلَا كُسْوَةَ لَهَا وَيَجِبُ لَهَا السُّكْنَى وَلَا يُحَدُّ بِوَطْئِهَا كَمَا أَفْتَى بِجَمِيعِهَا الْوَالِدُ شَرْحُ مَرَّ ، وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنْكِحَ مِنْ يَحْرُمُ جَمْعُهُ مَعَهَا كَأُخْتِهَا وَاعْتَمَدَهُ الطُّوخِيُّ . قَوْلُهُ : ( وَيَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ ) وَلَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِأُخْتِهَا وَبِرَابِعَةٍ خِلَافًا لِلشَّيْخِ سل وَاعْتَمَدَ الطُّوخِيُّ الْجَوَازَ ا هـ . وَلَوْ طَلُقَتْ اسْتَأْنَفَتْ عِدَّةً وَأَمَّا لَوْ مَاتَ فَهَلْ تَنْتَقِلُ إلَى عِدَّةِ الْوَفَاةِ أَوْ لَا ؟ عَنَانِيٌّ عَلَى الْمَنْهَجِ .

إعانة الطالبين – (ج 4 / ص 60)

(قوله: ويتمكن عليها) على بمعنى من كما هو مصرح بها في بعض نسخ الخط، والمراد التمكن من الاستمتاع بها. وقوله: ولو في الزمن اليسير: غاية في الاختلاء بها والتمكن منها: أي ولو كان ما ذكر يحصل في زمن يسير قال الرشيدي: هو صادق بما إذا قل الزمن جدا، ولعله غير مراد، وأنه إنما احترز به عن اشتراط دوام المعاشرة في كل الازمنة (قوله: سواء أحصل الخ) تعميم في انقطاع العدة بالاختلاء والتمكن منها: أي لا فرق في ذلك بين أن يكون حصل منه وطئ أو لا، وأفاد به أن المدار في انقطاع العدة على وجود الاختلاء والتمكن بحيث لو أراد الوطئ لامكن (قوله: فلا تنقضي العدة) أي زمن المخالطة وإن طال الزمن جدا كعشر سنين، وهو مفرع على انقطاع العدة (قوله: لكن إذا زالت الخ) إستدراك من قوله: وتنقطع عدة الخ رفع به ما يوهمه الانقطاع من وجوب الاستئناف. وقوله المعاشرة: عبر بها هنا وفيما تقدم بالمخالطة تفننا وهو ارتكاب فنين من التعبير مؤداهما واحد
Posted by Uswah On 1:26 AM No comments READ FULL POST
Pengasuh blog,
1. Bagaimana hukum menikahkan perempuan yang sedang hamil?
2. Bolehkah wanita tersebut dikumpuli (dijimak) setelah melangsungkan akad nikah?
3. Bagaimanakah status anak yang dilahirkan itu (waris)?
4. Bila anak yang dilahirkan itu perempuan siapa wali nikahnya?

JAWABAN :

Hukum menikahi perempuan yang sedang hamil diperinci sebagai berikut : [1]
• Jika perempuan tersebut hamil dari hubungan di luar nikah (zina), maka pernikahannya sah namun makruh.

• Jika hamil dari pernikahan yang sah seperti dari suami sebelumnya yang meninggal dunia atau mentalaknya dalam keadaan hamil, maka tidak sah karena masih dalam masa iddah.
Suami tetap boleh untuk melakukan hubungan suami-istri dengannya setelah melangsungkan akad. [2]
Status anak yang dilahirkan diperinci sebagai berikut : [3]

• Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan

1. Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).

2. Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

• Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.
Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya. [4]
Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.

CATATAN :

perempuan yang hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst. [5]

[1] & [2] روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 3 / ص 240)

فرع :لو نكح حاملاً من الزنا صح نكاحه بلا خلاف.وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد. الشرط الثاني أن تضع الحمل بتمامه فلو كانت حاملاً بتوأمين لم تنقض العدة حتى تضعهما حتى لو كانت رجعية ووضعت أحدهما فله الرجعة قبل أن تضع الثاني وإنما يكونان توأمين إذا وضعتهما معاً أو كان بينهما دون ستة أشهر فإن كان بينهما ستة أشهر فصاعداً فالثاني حمل آخر.

الياقوت النفيس / 143

شروط الزوجة : عدم الإحرام، والتعيين، والخلو من النكاح، ومن عدة غير الخاطب، وكونها انثى يقينا. (قوله: ومن عدة غير الخاطب) اما المعتدة منه ففيها تفصيل ان كان الطلاق رجعيا او بائنا بدون الثلاث واللعان صح نكاحها في العدة والا فلا.

[3] بغية المسترشدين ص235 – 236

( مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته .

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 12 / ص 236)

(قُلْت : وَالْمَخْلُوقَةُ مِنْ ) مَاءِ ( زِنَاهُ ) سَوَاءٌ أَكَانَتْ الْمَزْنِيُّ بِهَا مُطَاوِعَةً أَمْ لَا ، سَوَاءٌ تَحَقَّقَ أَنَّهَا مِنْ مَائِهِ أَمْ لَا ( تَحِلُّ لَهُ ) لِأَنَّهَا أَجْنَبِيَّةٌ عَنْهُ ؛ إذْ لَا حُرْمَةَ لِمَاءِ الزِّنَا بِدَلِيلِ انْتِفَاءِ سَائِرِ أَحْكَامِ النَّسَبِ مِنْ إرْثٍ وَغَيْرِهِ عَنْهَا ، فَلَا تَتَبَعَّضُ الْأَحْكَامُ كَمَا يَقُولُ بِهِ الْخَصْمُ ، فَإِنَّ مَنْعَ الْإِرْثِ بِإِجْمَاعٍ كَمَا قَالَهُ الرَّافِعِيِّ ، وَقِيلَ : تَحْرُمُ عَلَيْهِ مُطْلَقًا ، وَقِيلَ : تَحْرُمُ عَلَيْهِ إنْ تَحَقَّقَ أَنَّهَا مِنْ مَائِهِ بِأَنْ أَخْبَرَهُ بِذَلِكَ نَبِيٌّ ، كَأَنْ يَكُونَ فِي زَمَنِ عِيسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى الْأَوَّلِ يُكْرَهُ نِكَاحُهَا .وَاخْتُلِفَ فِي الْمَعْنَى الْمُقْتَضِي لِلْكَرَاهَةِ ، فَقِيلَ لِلْخُرُوجِ مِنْ الْخِلَافِ .قَالَ السُّبْكِيُّ : وَهُوَ الصَّحِيحُ ، وَقِيلَ لِاحْتِمَالِ كَوْنِهَا مِنْهُ ، فَإِنْ تَيَقَّنَ أَنَّهَا مِنْهُ حَرُمَتْ عَلَيْهِ ، وَهُوَ اخْتِيَارُ جَمَاعَةٍ مِنْهُمْ الرُّويَانِيُّ ، وَلَوْ أَرْضَعَتْ الْمَرْأَةُ بِلَبَنِ الزَّانِي صَغِيرَةً فَكَبِنْتِهِ ، قَالَهُ الْمُتَوَلِّي ( وَيَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ ) وَعَلَى سَائِرِ مَحَارِمِهَا ( وَلَدُهَا مِنْ زِنًا ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ) بِالْإِجْمَاعِ كَمَا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَرِثُهَا ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الِابْنَ كَالْعُضْوِ مِنْهَا وَانْفَصَلَ مِنْهَا إنْسَانًا وَلَا كَذَلِكَ النُّطْفَةُ الَّتِي خُلِقَتْ مِنْهَا الْبِنْتُ بِالنِّسْبَةِ لِلْأَبِ تَنْبِيهٌ : سَكَتَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ الْمَنْفِيَّةِ بِاللِّعَانِ ، وَحُكْمُهَا أَنَّهَا تَحْرُمُ عَلَى نَافِيهَا وَلَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِأُمِّهَا ؛ لِأَنَّهَا لَا تَنْتَفِي عَنْهُ قَطْعًا بِدَلِيلِ لُحُوقِهَا بِهِ لَوْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ ، وَلِأَنَّهَا رَبِيبَةٌ فِي الْمَدْخُولِ بِهَا ، وَتَتَعَدَّى حُرْمَتُهَا إلَى سَائِرِ مَحَارِمِهِ ، وَفِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ عَلَيْهِ بِقَتْلِهِ لَهَا ، وَالْحَدِّ بِقَذْفِهِ لَهَا ، وَالْقَطْعِ بِسَرِقَةِ مَالِهَا ، وَقَبُولُ شَهَادَتِهِ لَهَا وَجْهَانِ ، أَوْجَهُهُمَا كَمَا قَالَ شَيْخِي لَا كَمَا يَقْتَضِي كَلَامُ الرَّوْضَةِ تَصْحِيحَهُ

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 327)

(قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الامام أبي حنيفة رضي الله عنه.ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالاجماع.والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد انفصل من المرأة وهو إنسان كامل

[4] مصنف ابن أبي شيبة – (ج 8 / ص 374)

(21) مسألة النكاح بغير ولي (1) حدثنا معاذ بن معاذ قال أخبرنا ابن جريح عن سليمان بن موسى عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت : قال رسول الله (ص) : (أيما امرأة لم ينكحها الولي أو الولاة فنكاحها باطل – قالها ثلاثا – فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب منها ، فإن تشاجروا فإن السلطان ولي من لا ولي له).

[5] بغية المسترشدين ص 249 – 250

( مسئلة ) ملخصة مع زيادة من الإكسير العزيز للشريف محمد بن أحمد عنقاء في حديث الولد للفراش الخ إذا كانت المرأة فراشا لزوجها أو سيدها فأتت بولد من الزنا كان الولد منسوبا لصاحب الفراش لا إلى الزاني فلا يلحقه الولد ولا ينسب إليه ظاهرا ولا باطنا وإن استلحقه ومن هنا يعلم شدة ما اشتهر أنه إذا زنى شخص بإمرأة وأحبلها تزوجها واستلحق الولد فورثه وورثه زاعما سترها وهذا من أشد المنكرات الشنيعة التي لا يسع أحدا السكوت عنها فإنه خرق للشريعة ومنابذة لأحكامها ومن لم يزله مع قدرته بنفسه وماله فهو شيطان فاسق ومداهن منافق وأما فاعله فكاد يخلع ربقة الإسلام لأنه قد أعظم العناد لسيد الأنام مع ما ترتب على فعله من المنكرات والمفاسد منها حرمان الورثة وتوريث من لا شيء له مع تخليد ذلك في البطون بعده ومنها أنه صير ولد الزنا باستلحاقه كابنه في دخوله على محارم الزاني وعدم نقض الوضوء بمسهن أبدا ومنها ولايته وتزويجه نساء الزاني كبناته وأخوته ومن له عليها ولاية من غير مسوغ فيصير نكاحا بلا ولي فهذه أعظم وأشنع إذ يخلد ذلك فيه وفي ذريته ويله فما كفاه أن ارتكب أفحش الكبائر حيث زنى حتى ضم إلى ذلك ما هو أشد حرمة منه وأفحش شناعة وأي ستر وقد جاء شيئا فريا وأحرم الورثة وأبقاه على كرور الملوين وكل من استحل هذا فهو كافر مرتد خارج عن دين الإسلام فيقتل وتحرق جيفته أو تلقى للكلاب وهو صائر إلى لعنة الله وعذابه الكبير فيجب مؤكدا على ولاة الأمور زجرهم عن ذلك وتنكيلهم أشد التنكيل وعقابهم بما يروعهم وقد علم بذلك شدة خطر الزنا وأنه من أكبر الكبائر ( مسئلة ي ) حملت إمرأة وولدت ولم تقر بالزنا لم يلزمها الحد إذ لا يلزم الحد إلا ببينة أو إقرار أو لعان زوج أو علم السيد بالنسبة إلى قنة إذ قد توطأ المرأة بشبهة أو وهي نائمة أو سكرانة بعذر أو مجنونة أو مكرهة أو تستدخل منيا من غير إيلاج ونحو ذلك فتحبل منه ولا يوجب حدا للشبهة فعلم أن كل امرأة حملت وأتت بولد إن أمكن لحوقه بزوجها لحقه ولم ينتف عنه إلا باللعان وإن لم يكن كأن طالت غيبة الزوج بمحل لا يمكن اجتماعهما عادة كان حكم الحمل كالزنا بالنسبة لعدم وجوب العدة وجوز انكاحها وطئها وكالشبهة بالنسبة لدرء الحد والقذف واجتناب سوء الظن نعم إن كانت قليلة الحياء والتقوى كثيرة الخلوة بالأجانب والتزين لهم وتحدث الناس بقذفها عزرها الإمام بما يزجر أمثالها عن هذا الفعل
Posted by Uswah On 1:24 AM 2 comments READ FULL POST
Saya mau bertanya, ada seorang suami yang berkata kepada istrinya bahwa senyum istrinya mirip ibunya. Apakah laki-laki tersebut terkena hukum dzihar atau tidak? Bila terkena bagaimana cara mengkafaratinya sedangkan dia tidak mampu memerdekakan abid, puasa 2 bulan berturut-turut dan sedekah pada fakir miskin.

JAWABAN:


Dhihar yaitu menyerupakan istri dengan punggung atau anggota badan (secara keseluruhan atau sebagian) mahramnya seperti ibu atau saudara perempuan.

Penyerupaan itu hanya dengan bagian tubuh luar seperti punggung, tangan dan lain-lain, bukan dengan seperti susu, ludah dan senyuman karena bukan bagian tubuh, dan juga bukan dengan tubuh bagian dalam, seperti hati, limpa dan lain-lain. Oleh karena itu, jika menyerupakan istrinya dengan senyuman ibunya, tidak dikatakan dhihar, begitu juga menyerupan sifat istri dengan sifat ibunya atau mahramnya, tidak dikatakan dhihar.

Apabila dhihar dinyatakan sah namun tidak mampu melaksanakan kafarah secara keseluruhan, maka menjadi tanggungannya hingga mampu melaksanakannya.

إعانة الطالبين – (ج 4 / ص 42)

وشرط في الصيغة لفظ يشعر بالظهار وفي معناه الكتابة وإشارة الاخرس المفهمة. ثم هو إما صريح كأنت أو رأسك أو يدك أو نحو ذلك من الاعضاء الظاهرة كظهر أمي أو كيدها أو رجلها وإن لم يكن لها يد أو رجل أو نحو ذلك من الاعضاء الظاهرة أيضا، بخلاف الباطنة فيهما على المعتمد كالكبد والطحال والقلب، وبخلاف ما لا يعد جزءا كاللبن والريق، وإما كناية كأنت كأمي أو كعينها أو غيرها مما يذكر للكرامة كرأسها، فإن قصد الظهار كان ظهارا وإلا فلا.

حواشي الشرواني – (ج 8 / ص 178)

(من كل عضو الخ) أي وهو من الاعضاء الظاهرة كما يأتي في قوله ويظهر أنه يلحق الخ اه ع ش)
قوله: (أو روحها أو مثله الخ) عبارة المغني والنهاية أو نحو ذلك مما يحتمل الكرامة كأنت كأمي أو روحها أو وجهها ظهار أن قصد الخ وهي أحسن من صنيع الشارح الموهم لرجوع الاستدراك لقوله ومثله الخ

المجموع – (ج 17 / ص 348)

قال الشافعي وإذا قال الرجل لامرأته انت على أو عندي كأمى أو انت مثل امى أو انت عدل امى واراد في الكرامة فلا ظهار، وإن اراد ظهارا فهو ظهار

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 14 / ص 60)

( وَهِيَ ) أَيْ : الْكَفَّارَةُ ( عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ) كَمَا فِي الْخَبَرِ السَّابِقِ وَسَيَأْتِي بَيَانُ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ وَشُرُوطُهَا وَصِفَاتُهَا فِي بَابِ الْكَفَّارَةِ ( فَلَوْ عَجَزَ عَنْ الْجَمِيعِ اسْتَقَرَّتْ ) مُرَتَّبَةً ( فِي ذِمَّتِهِ فِي الْأَظْهَرِ ) ؛ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَمَرَ الْأَعْرَابِيَّ أَنْ يُكَفِّرَ بِمَا دَفَعَهُ إلَيْهِ } مَعَ إخْبَارِهِ لَهُ بِعَجْزِهِ فَدَلَّ عَلَى ثُبُوتِهَا فِي الذِّمَّةِ حِينَئِذٍ وَعَدَمُ ذِكْرِهِ لَهُ إمَّا لِفَهْمِهِ مِنْ كَلَامِهِ كَمَا تَقَرَّرَ أَوْ ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ إلَى وَقْتِ الْحَاجَةِ جَائِزٌ ( فَإِذَا قَدَرَ عَلَى خَصْلَةٍ فَعَلَهَا ) فَوْرًا وُجُوبًا ؛ لِأَنَّ كُلَّ كَفَّارَةٍ تَعَدَّى بِسَبَبِهَا يَجِبُ الْفَوْرُ فِيهَا ( وَالْأَصَحُّ أَنَّ لَهُ الْعُدُولَ عَنْ الصَّوْمِ ) إلَى الْإِطْعَامِ ( لِشِدَّةِ الْغُلْمَةِ ) أَيْ : الْحَاجَةِ إلَى الْوَطْءِ لِئَلَّا يَقَعَ فِيهِ أَثْنَاءَ الصَّوْمِ فَيَحْتَاجَ لِاسْتِئْنَافِهِ وَهُوَ حَرَجٌ شَدِيدٌ وَوَرَدَ { أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَمَرَ الْمُكَفِّرَ بِالصَّوْمِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ
أُتِيتُ إلَّا مِنْ الصَّوْمِ فَأَمَرَهُ بِالْإِطْعَامِ ) .

قَوْلُهُ : لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَخْ ) أَيْ : وَلِأَنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى الْمَالِيَّةَ إذَا عَجَزَ عَنْهَا الْعَبْدُ وَقْتَ وُجُوبِهَا فَإِنْ كَانَتْ لَا بِسَبَبٍ مِنْهُ كَزَكَاةِ الْفِطْرِ لَمْ تَسْتَقِرَّ فِي ذِمَّتِهِ وَإِنْ كَانَتْ بِسَبَبٍ مِنْهُ اسْتَقَرَّتْ فِي ذِمَّتِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ عَلَى وَجْهِ الْبَدَلِ كَجَزَاءِ الصَّيْدِ وَفِدْيَةِ الْحَلْقِ أَوْ لَا كَكَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ وَالْيَمِينِ وَالْجِمَاعِ وَرَدِّ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ أَسْنَى وَمُغْنِي
Posted by Uswah On 1:22 AM 2 comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Arsip Blog